Fakta Konyol Orang-orang yang Mengaku Tidak Bermazhab

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh….

Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba” yazhabu zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.
Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudkan di sini adalah mazhab fiqih.

Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu.

Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dhaifah serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafii dan madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan taaddud asy-syariah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dhaifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )

Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah bidah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Quran maupun Sunnah dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.

Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.

Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang al-Quran dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.

Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafii)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?

Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Quran dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Quran dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Quran dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.

Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Quran maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui mana-mana huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Quran, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Quran yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.

Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafii, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syariat zaman sekarang yang dapat disejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?

ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:

1. Dalil Al-Quran Q.S. an-Nahl: 43:

Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.

Dan sudah menjadi ijma ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba(mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)

2. Ijma

Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak.

Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

3. Dalil akal

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.

Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan Tidak bermadzhab adalah bidah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama.

Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Lumahlm. 348. )

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:

1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari Al-Quran dan Hadits.

2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafii, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.

Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad

Sumber

SURAT TERBUKA UNTUK PARA PENGIKUT WAHABI/SALAFY

Assalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh

 

Wahai saudaraku  sejujurnya kukatakan kepadamu bahwa aku  tidak membenci mu  bahkan aku sangat kasihan dan risau kepadamu.

 

Mengapa itu terjadi dan selalu menganggu pikiranku ketika aku berhadapan atau mengingat saudaraku???

 

Hal-hal berikut inilah yang membuatku risau dan sedih…

 

  1. Saudaraku engkau  telah menyimpang dari kalimat syahada yang pertamat yang diperintahkan Allah dan yang diajarkan Rasulullah.  Dalam syahadat Allah hanya meminta kita meyakini tiada tuhan selain Allah itu saja. Kita tidak disuruh untuk meyakini tuhan itu dilangit dan tidak disuruh memaksakan keyakinan bahwa tuhan dilangit kepada orang yang sudah bersyahadat dengan benar. Ingat syahadat kita hanya diperintahkan meyakini tiada tuhan selain Allah itu saja.
  2. Saudaraku engkau telah menyimpangan terhadap syahadat yang kedua, engkau lebihmemulyakan Muhammad bin Abdul Wahab ketmbang Muhammad bin Abdullah ini terbukti engkau melarang orang mengingat sirroh nabawi (sejarah kelahiran nabi) dan melarang umat Islam mengagungkan dan memberi gelaran sayyidina kepada Rasulullah, padahal untuk ulama dan ustadz kalian memberi gelaran seperti syaikh,allama’,hafidzahulloh,dan lain-lain paggilan yang mulia.
  3. Saudaraku engkau menjadikan sunnah Nabi secara fisik sebagai hal yang menakutkan umat sehingga ciri2 fisik Rasulullah yang mulia menjadi ejekan umat akibat perbuatan anda menghujat dan menghina golongan lain. Sehingga umat takut untuk mengamalkan sunnah. Karena jika mereka tidak dihina maka mereka juga tidak akan menghina.
  4. Saudaraku engkau kembali mengungkap hal2 khilafiyah yang oleh ulama terdahulu dianggap sudah selesai tetapi engkau ungkit2 kembali sehingga menjadi perdebatan dan membingungkan umat dan memecah belah ukhuwah Islamiyah yang sudah terbina dengan baik.
  5. Saudaraku engkau mengikuti fatwa hal-hal yang ghoib yang merupakan wewenang Allah kepada umat Islam padahal hal2 ghoib itu hanya Allah yang tahu misalnya tentang dimana Allah,Arsy,Surga dan Neraka,
  6. Saudaraku engkau telah menyakiti hati umat Islam dan juga menyakiti hati Rasulullah dengan memvonis orang tua Rasulullah di neraka dan juga memvonis ulama2 berada di neraka dan juga memvonis umat yang tidak sefaham berada di neraka. Dengan mengungkapkan dalil2 ayat dan nash yang samar penafsirannya bahkan ulama2 muktabar tidak berani menafsirkan ayat dan hadist tersebut.

Dengan beberapa fakta diatas menjadikan aku sedih dan risau  bahwa dakwahmu bukan  mengajak kepada Allah dan RasulNya tetapi mengajak kepada musuh2 Allah.

 

Semoga saudaraku segera menyadari dan bertobat dan kembali kepada Allah dan RasulNya dengan belajar kepada ulama yang berguru pada ulama yang  benar-benar sebagai pewaris para Nabi yaitu ulama yang pemikirannya dan ilmunya sudah teruji mampu menyelesaikan permasalahan umat baik untuk perkara dunia lebih-lebih untukperkara akherat, sebelum maut memisahkan kita… dan semoga Allah memberikan hidayah dan petunjuk jalan yang benar yaitu jalan orang2 yang telah diberi nikmat kepada mereka dan bukan jalan orang2 yang dimurkai Allah dan bukan jalan orang2 yang tersesat. Amin ya robbal alamin.

 

Ya Allah jika ilham yang engkau berikan ini benar sesungguhnya ini datang dariMu dan  Engkaulah Zat yang Maha Benar, jika ini salah, kesalahan ini adalah milik hambaMu yang dhoif ini dan tidak ada sedikitpun bermaksud memfitnah saudaraku yang lain… ini hanyalah karena kerisauan hambamu ini ya Allah aku mohon ampun kepadaMu, Ya Rahman…Ya Rahim..Ya Ghofurur Rohim.

 

Bagi saudaraku yang lain yang juga tak rela jika saudaranya terjerumus terlalu jauh dengan hal2 yang telah saya utarakan diatas silakan share dengan cara mengklik tulisan “share” atau “bagi” atau copy paste dan memposting ulang di account fb saudara atau blog saudara.

 

Terima kasih. Jazakumullah khoiron katsiron…

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 

 

Taman Surga

Rabi’ul Awal 1432H

Sumber: <a href=”http://www.facebook.com/note.php?note_id=105090906237810“>http://www.facebook.com/note.php?note_id=105090906237810</a>

Tuhan Kaum Wahaby/Salafy ada Di Ruang Kedap Udara

Di antara perkara konyol kaum Wahhâbi adalah mereka menegakkan akidah “miring“ mereka di atas pondasi yang rapuh dan ocehan orang Arab Baduwi yang jahil.

Kaum Wahhâbi “ngotot” meyakini bahwa Allah butuh kepada tempat untuk bersemayam… bahkan sebelum menciptakan ciptaan-Nya Allah telah butuh kepada tempat! Dan tempat itu adalah ruang kedap udara!!

Subhanallah Maha Suci Engkau dari pencifatan kaum jahil nan dungu. Keyakinan sesat ini mereka bangun di atas pondasi yang awhan min baitil ‘ankabût/lebih rapuh dari sarang laba-laba.

Mereka meriwayatkan untuk mendukung keyakinan mereka riwayat di bawah ini dari Abu Razin al Uqaili yang mengaku telah bertanya kepada Nabi saw.

أين كان الله قبل ٍأنَ يَخْلُقَ خَلْقَهُ؟ فقال: كان في عماء ,ما تحته هواء وما فوقه هواء ثم خلقٌ، عرْشُهُ علَى المَاءِ.

“Dimanakah Allah sebelum menciptakan ciptaan-Nya?

Maka Nabi saw. menjawab: Allah berada di awan di atas-Nya tidak ada udara dan di bawahnya juga tidak ada udara. Di sana tidak ada ciptaan. Dan Asry-Nya di atas air.”

Para ulama Islam telah membantah hadis palsu di atas baik sanad maupun kandungannya! Akan tetapi Ibnu Taimiyah (Nabi Junior kaum Wahhâbi) berpegang teguh dengannya dan membanggakannya lebih dari tiga puluh kali daalam berabagai kitab karangannya!!

Hadis palsu ini terdapat dalam Musnad Ahmad,4/11 dari Wakî’ dari pamannya dari Abu Razin, Sunan Ibnu Majah,164 hadis no.182, Turmudzi,4/351 hadis no.5109 dan ath Thabarani dalam al Mu’jamul kabir,1/64 hadis 207. dll.

Akan tetapi para ulama telah menolak keshahihannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyah membangun keyakinannya di atas riwayat ini. Ia berkata dalam kitab Istiqâmah:126:

وقال له أبو رزين العقيلي: أين كان ربنا قبل أن خلق السماوات والأرض؟ قال:في عماء، ما فوقه هواء وما تحته هواء، ثم خلق عرشه على الماء.

ومن نفى الأين عنه يحتاج إلى أن يستدل على انتفاء ذلك بدليل.

“Abu Razin al ‘Uqaili berkata kepadanya: Dimana Tuhan kita sebelum menciptakan langit dan bumi?

Nabi menjawab: Di awan, di atas tidak ada udara dan di bawahnya juga tidak ada udara. Kemdian Dia menciptakan air.

Dan barang siapa menafikan tempat bagi Allah maka ia butuh kepada dalil untuk ketidak adaaan tenpat itu bagi Allah.

Ibnu Qutaibah menegaskan bahwa hadis Abu Razin telah diperselisihkan redakasinya dan telah diriwayatkan dengan redaksi yang mengerikan sekali!! Para perukilnya adalah kaum Arab Baduwi (Baca Ta’wil Mukhtalaf al Hadîts:206)

Sangkin parahnya riwayat Abu Razin di atas, pendekar Sunnah kaum Wahhâbi dari Pedepokan Syam terpaksa melemahkannya! (Baca Dha’îf Ibnu Majah:17 dengan nomer 181.) akan tetapi pada waktu yang sama kegendrungannya kepada akidah Tajsim tidak membiarkannya berpikir lincah dan terbebas dari jeratannya. Namun demi merelakan tuan-tuannya di negeri Angker kaum Mujassimah; Najd sana!! Ia berkata: ‘Amâ’ artinya awan. Ulama berkata ini termasuk hadis-hadis Shifât. Kita beriman kepadanya tanpa ta’wil dan menyerahkan maknanya kepada yang Maha Mengetahuinya. (Mukhtashar al ‘Uluw:259)

Abu Salafy Bertanya:

1) Wahai kaum Wahhâbi mengapakah kalian menegakkan akidah kalian di atas hadis Abu Razin al ‘Uqaili, padahal ia seorang Arab Baduwi yang telah dicacat para ulama Ahli jarhi wa ta’dil dan mereka menegaskan bahwa dia tidak mengerti apa-apa?! Ibnu Abdil Barr berkata:

وليس بشئ.

“Ia bukan apa-apa.”

2) Bagaimana kalian meyakini apa yang dikatakan dalam riwayat si Arab Baduwi ini yang meniscayakan Allah itu butuh kepada tempat dan lebih konyol lagi adalah bahwa awan/’Amâ’ sudah ada bersama Allah atau bisa jadi malah sudah ada sebelum Allah!! Sebab semua itu telah ada sebelum Allah menciptakan ciptaanNya!! Lalu siapa yang menciptakan ‘Amâ’ tersebut?

3) Apa itu artinya kalian meyakini ada Dzat yang Qadîm selain Allah SWT?!

4) Apakah kalian percaya kepada seorang alim atau berakal seperti Albâni setelah mendha’ifkan hadis itu ia tetap saja membangun keyakinannya di atasnya?!

Sumber:http://abusalafy.wordpress.com/2009/06/01/tuhan-kaum-wahhabi-berada-di-ruang-kedap-udara/

[KUTBAH JUM’AT] Membaca Sesatnya Salafi, Wahabi dan Khawarij

Bismillahir Rohmanir Rohiim
Innal hamdulillah nahmaduhu wa nastainuhu wa nastagfiruhu wa na’uzu billahi min shururi anfusina wa min sayyiati a’malina may yahdihillahu fala mudillallah wa may yudlill fala hadiyala wa ba’ad,

Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem serta radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Akhir-akhir ini, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar ajaran para Salaf Saleh.Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor, yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir, zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka.

Mereka beranggapan, bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.

Definisi Salafi jika dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.2 Sedang dari sisi istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.3 Jadi, salafi adalah kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.4 Bahkan sebagian menambahkan bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.5 Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad keempat hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal.

Kemudian pada abad ketujuh hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.6Pada hakikatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi, yang dapat kita temui di Tanah Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh pemuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia.Dikarenakan istilah Wahabi begitu berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud—yang membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris. Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama keluarga tersebut.

Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyakbumi. Sedang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap wilayah-wilayah lain di luar wilayah Saudi.Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah” menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah.

Kedua istilah itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi) satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hanbaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar (Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy.” Sayyid as-Saqqaf menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah dan mengikuti ulama mazhab Hanbali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong ulama mazhab Hanbali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesancelaan.”

Dalam menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf mengatakan: “Pada hakikatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah dan para pendahulunya dari mazhab Hanbali, yang mereka kemudian mengaku sebagai kelompok Salafiyah.” Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah pengikut mazhab Hanbali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hanbali sendiri. Mereka sesuai (dengan mazhab Hanbali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih (Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw. (Ahlul-Bait) dan tiada menghormati mereka.”

8Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi(pembenci keluarga Nabi saw.), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.Pelopor Pemikiran “Kembali ke Metode Ajaran Salaf”Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain—yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian muslim—akan membahayakan nasib teks-teks agama.

Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini.”9 Konsekuensi dari ungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya—termasuk Ibnu Taimiyah—terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama.

Salah satu dampak konkret dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyahal-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi.Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia.”, “Tuhan bisa dilihat.”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam Neraka.” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hanbal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan.”

0Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.11Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”12 atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam.”

13 Lantas, di sisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”14 Apakahayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arasy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas.Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakikat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslim pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hanbal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi.

Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat) … dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama.

Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah.” Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, merekatelah terjerumus ke dalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri.”15 Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks.

Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahan-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.16Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hanbal sendiri.

17Faktor Munculnya Kelompok SalafiDalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hanbal dapat diperhatikan dari kekacauan pada zaman itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah, yang meyakini keikutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrem dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang di sisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hanbal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hanbal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.

Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan faktor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu—yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hanbal—adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah keilmuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali ke pemikiran Salaf.”

18 Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah di zamannya.

Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hanbal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hanbal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu.

Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutanAhlusunnah pun akhirnya diidentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor di mata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hanbal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab ImamAhmad bin Hanbal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah)—yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi—serta tindakan arogan yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kelompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.

Kecurangan Kelompok SalafiSetiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya.Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi.

Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrikadalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Di sisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah.

Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca salawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelaskonsekuensi hukumnya dalam ajaran Islam.Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.

Segala bentuk makar dan kebohongan untuk menghadapi rival akidahnya merupakan hal mubah di mata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi—yang didukung dana begitu besar—berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standar Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat.

Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standar ajaran—termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir—mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka.Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Mengubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah mengubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus.

Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsirbeliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hanbali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali.Kitab Syarah Shahih Muslim pun (telah diubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali.”

20Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi saw. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat,” di situ, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah.

Pada hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini—risalah—maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)….” Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam Tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi: “Washi (pengganti) dan Khalifahku.” Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya,” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliaunukil dari Shahih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus.

Melakukan peringkasan kitab-kitab standar, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama.Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rafidhi.”21Salafi (Wahabi) dan KhawarijTidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij.

Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi.Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Di sini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw., di mana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.

22Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekuensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam menyifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”23 Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim.

Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan.”24 maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab.

Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz dan Irak kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama.

Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokkan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluar (lepas)-nya anak panah dari busurnya.Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala.”

25 Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur,” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.26 Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai guncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah.”27 Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Di sana akan muncul qornsetan.” Dalam kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan.28Sedang kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabi.

Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan ke segala penjuru dunia. Banyak tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.Keenam, sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.

Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi—seperti al-Qaedah—melakukan aksi teror di berbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga sebagai korbannya.Tulisan ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi (Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam Muhammadi tersebut.

Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini Qom, Republik Islam Iran.Rujukan:2 Lisan al-Arab, jil. 6, hal. 330.3 As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah, hal. 9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi.4 As-Shohwat al-Islamiyah, hal. 25, karya al-Qordhowi.5 Al-Aqoid as-Salafiyah, hal. 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi.6 Al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 331, karya Muhammad Abu Zuhrah.7 Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi judul “Tarikh aali Sa’ud.” Karya ini berulang kali dicetak. Di situ dijelaskan secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab.8 Selengkapnya silakan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali as-Saqqaf, cet. Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania.9 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 165, karya as-Syahrastani.10 Fi ‘Aqo’id al-Islam, hal. 155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan risalah-nya).11 Ayat-ayat al-Quran yang berbunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran.Ini semua salah satu bukti konkret bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui keikutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.12 Q.S. Thoha: 5.13 Al-Washiyah al-Kubra, hal. 31 atau Naqdhu al-Mantiq, hal. 119 karya Ibnu Taimiyah.14 Q.S. as-Syura: 11.15 Al-Milal wa an-Nihal, jil. 1, hal. 84.16 Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat, ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun pada kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa di samping makam para kekasih Ilahi (waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majelis fatihah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan diperbolehkannya hal-hal tadi.17Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran Imam Ahmad bin Hanbal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan dengan keutamaan keluarga Rasul saw., yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan mereka dengan mencantumkannya dalam kitab Musnad-nya. Dari situ akhirnya Ibnu Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib as. (lihat: Minhaj as-Sunnah, jil. 8, hal. 329.) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: jil. 4, hal. 682), dan ia termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?18Al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 38.19 As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah, hal. 680.20 Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah, hal. 249.21 Diwan as-Syafi’i, hal. 55.22 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 118.23 Shahih Bukhari, jil. 4, hal. 197.24 Majmu’ al-Fatawa, jil. 13, hal. 32, karya Ibnu Taimiyah.25 Shahih Bukhari, “kitab at-Tauhid”, bab 57, hadis ke-7123.26 Irsyad as-Saari, jil. 15, hal. 626.27 Musnad Ahmad, jil. 2, hal. 81 atau jil. 4, hal. 5.28 Al-Qomuus, jil. 3, hal. 382, kata: “Qo-ro-na.”Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisaa’ : 48)Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril berkata kepadaku, ‘Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga’” (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]

Oleh: Mukhtar Luthfi
diambil dari : http://dervishwarrior.blogspot.com/

BERITA VIDEO HEBOH KAUM SALAFY DISERBU DI LOMBOK

Berita ini dilansir dari metrotv. kejadian yang sering dilakukan warga ketika marah karena negara ini tidak mempunyai hukum yang jelas dan tegas sehingga warga bertindak main hakim sendiri…

Postingan ini bukan untuk menjelekan golongan lain tapi sebagai kritik sosial bagi penegakan hukum manusia yang memang banyak kekurangan dan kelemahan dibandingkan dengan hukum Allah SWT.

Metrotvnews.com, Lombok Barat: Rumah milik penganut paham Salafi di Dusun Mesangguk, Gapuk, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, NUsa Tenggara Barat, kembali diserang warga. Penyerangan dilakukan kelompok pemuda yang tidak setuju dengan kehadiran paham ini di desa mereka. Paham Salafi dinilai melecehkan cara beribadah yang telah lama dilakukan warga Mesangguk. Sedikitnya lima rumah milik penganut paham Salafi rusak dilempari batu. Puluhan aparat kepolisian berupaya mencegah meluasnya penyerangan. Penyerangan dipicu ketersinggungan warga atas tidak hadirnya perwakilan Salafi dalam upaya damai yang difasilitasi oleh aparat kecamatan.(DOR)

Berita Video saksikan di sini

3 HARI BELAJAR ISLAM DAN DAKWAH UNTUK MEMBANTU PALESTINA DAN UMAT ISLAM SEDUNIA

Belajar Islam Cuma 3 hari apa bisa…?

Jawabnya bisa. Banyak cara belajar instant yang menjadikan anda cepat menguasai sesuatu. Cara belajar instant ini sebenarnya metode yang dikembangkan oleh seseorang selama bertahun-tahun dan melalui proses pembelajaran yang panjang. Seperti sekarang kita menggunakan Windows yang serba mudah, bukan dari kerja yang sekali jadi, tapi memakan waktu dan dana yang begitu besar untuk menciptakannya. Hasilnya sekarang anak kecilpun hanya dengan mengajarinya cara mengklik mouse saja sudah pandai menggunakan windows.

 

Kembali pada pokok permasalahan belajar Islam dalam tempo 3 hari ini digagas oleh seorang Ulama besar yang bernama Syaih Maulana Muhammad Ilyas Rahmatu’alaihi. Beliau adalah seorang ulama yang hafal Al Qur’an dan hafal ribuan hadist. Metode belajar Islam 3 hari ini dikembangkannya berdasarkan pemikiran dan kerisauannya melihat kondisi umat Islam setelah runtuh dari kejayaannya berabad-abad lamanya sampai sekarang ini.

 

Beliau melakukan riset yang dikembangkannya bertahun-tahun lamanya dan akhirnya diterapkanlah metode pembelajaran ini. Pada mulanya Syaih Maulana Muhammad Ilyas mengeluarkan biaya dari hartanya sendiri untuk membayar orang-orang yang mau diajak belajar Islam dengan metode 3 hari ini. Tidak banyak yang menaruh perhatian pada metode ini, hanya segelintir orang-orang miskin dan orang penarik rigsaw (becak) di daerah Mewat (India) yang mau ikut. Tetapi beliau tidak putus asa. Jika anda berjalan-jalan ke India coba singgah ke sebuah kota kecil yang bernama Mewat anda akan merasakan suasana yang sangat Islami disana.

 

Dengan kegigihan beliau selama bertahun-tahun hasilnya tidak sia-sia. Sekarang di daerah Nizamuddin di suatu mesjid besar namun sederhana telah menjadi pusat pembelajaran dan dakwah Islam yang terbesar di dunia. Ya mesjid Banglawali yang dulunya kecil hanya terdiri dari ruangan sebesar mushollah kita di ndonesia, telah menjadi Mesjid yang besar dengan jumlah ribuan manusia yang tiap hari dating silih berganti ingin belajar Islam dengan metode yang Beliau kembangkan tersebut.

Pada Desember 2007 yang lalu dengan izin Allah saya mendapat kesempatan belajar disana selama sebulan lamanya. Dan disana saya banyak bertemu dengan saudara-saudara kita dari seluruh pelosok negeri ada disana. Jika anda mungkin singgal di New Delhi dan bingung mau mencari penginapan dan makan, coba saja berkunjung ke sini anda akan dijamu dengan gratis tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun, dan anda bisa berjumpa dengan orang-orang Indonesia dari daerah yang berbeda-beda dari Aceh sampai Irian ada di sana. Bahkan orang-orang dari pelosok negeri lainnya.

 

Materi Pembelajaran

Materi yang diajarkan pada metode ini adalah:

  1. Materi Rukun Iman dan Islam
  2. Materi Rukun Sholat dan bimbingan sholat agar khusuk dan berserah diri kepada Allah SWT.
  3. Materi Pembelajaran Ilmu keutamaan beramal dan Ilmu Adab-adab sehari-hari dalam Islam dan Ilmu fiqih serta berlatih zikir mengingat Allah setiap saat.
  4.  Materi Akhlak dan kasih saying sesama makhluk.
  5. Materi Ikhlas dan berlatih untuk bisa ikhlas
  6. Materi Dakwah Islam dan cara-cara berdakwah.

 

Metode Belajar

Mengingat begitu luasnya materi yang akan dipelajari maka metode pembelajaran ini dilaksanakan secara full time 72 jam (3 hari).

  1. Kelompok Belajar minimal 5 orang terdiri 2 orang senior dan 3 orang baru.
  2. Salah satu senior dipilih menjadi Pemimpin kelompok belajar yang disebut dengan Amir.
  3. Tempat belajar diusahakan ditempat lain bukan tempat domisili peserta minimal beda kampong atau kota.
  4. Tempat belajar adalah di Masjid yang telah disediakan oleh pengurus Masjid untuk digunakan sebagai tempat dan sarana belajar.
  5. Akomodasi ditanggung oleh masing-masing peserta diperkirakan untuk biaya akomodasi selama 3 hari sekitar Rp 30.000,- sampai Rp. 50.000,-  tergantung kondisi daerah tempat belajar dan lamanya belajar
  6. Sebelum berangkat dan setelah selesai akan diberi pengarahan terlebih dahulu.

 

Alokasi Waktu Belajar

Hari Pertama

Waktu

Kegiatan

08.00 – 08.15

Peserta Berkumpul di Masjid asal dan diberi pengarahan

08.15 – 09.00

Perkiraan waktu berangkat dan dalam  perjalanan

09.00 – 09.15

Sampai di Mesjid tujuan dan berdoa di depan Masjid, Masuk Masjid dan sholat tahyatul Masjid

09.15 – 9.30

Meeting dan pengaturan jadwal kegiatan dan pembagian tugas, serta pemberitahuan kepada petugas masjid dan kepala lingkungan setempat.

09.30 – menjelang Zuhur

( 120 menit)

Materi Keutamaan Al Qur’an, (10 menit)

Belajar Membaca Al Qur’an dan tadjwid (30 menit)

Keutamaan Sholat (10 menit)

Keutamaan Zikir (10 menit)

Keutamaan Sadaqah (10 menit)

Keutamaan Tabligh (10 menit)

Penyebab kerusakan umat, (10 menit)

Kisah Perjuangan Para Sahabat dan Sifat-sifat para Sahabat Rhum. (30 menit)

Waktu Zuhur

Sholat Zuhur berjama’ah dengan masyarakat di Masjid tempat belajar.

Ba’da Zuhur

Perkenalan dengan masyarakat yang ikut sholat berjamaah di masjid tersebut (15 menit)

13.00 – 14.30

Materi adab sehari-hari (makan minum,mandi, istinjak,wudhu;,dll) Persiapan makan siang dan istirahat.

14.30 – Menjelang Ashar

Materi Rukun Iman dari kitab Muntahab Alhadist

Waktu Ashar

Sholat Ashar berjamaah.

Ba’da Ashar

Materi Singkat Cara dan adab  berdakwah dan mengajak masyarakat setempat untuk berpartisifasi. (15 menit – 30 menit)

Berlatih zikir petang.

1 jam sebelum Magrib

Pembagian petugas untuk berlatih dakwah keliling kampong mengajak dengan lemah lembut masyarakat sekitar Masjid untuk dapat meluangkan waktu sholat berjama’ah di Masjid. (10 menit sebelum magrib harus sudah berkumpul kembali di Masjid)

Waktu Magrib

Sholat Magrib Berjamaah

Ba’da Magrib

Ceramah tentang pentingnya Iman dan Amal Sholeh (30 menit)

Menjelang Isya

Beramah tamah dengan masyarakat setempat yang hadir di Masjid.

Waktu Isya

Sholat Isya berjamaah

Ba’da Isya

Materi Belajar Adab Sehari-hari,  makan malam, Setelah makan berkunjung ke rumah-rumah masyarakat sekitar masjid atau tokoh masyarakat untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi (maksimum 30 menit)

22.00 – 22.15

Materi Belajar Adab Tidur dan Iktikaf di Masjid

22.15 – 04.00

Istirahat Iktikaf dan amalan sholat tahajud

04-00 Menjelag Subuh

Pesiapan Sholat Subuh,

Waktu Subuh

Sholat Subuh berjamaah

Ba’da Subuh

Ceramah Subuh tentang Ringkasan 6 Materi yang telah dipelajari (15 – 30 menit)

Berlatih zikir pagi

Waktu Isra’

Sholat Isra’ (waktunya (100 menit setelah waktu subuh)

07.00 – 09.00

Sarapan Pagi, Persiapan diri mandi, istirahat, silaturahmi ,dll

Hari Kedua

09.00 – 09.30

Meeting (musyawarah) laporan hasil kegiatan dalam 1 hari dan pembagian tugas untuk kegiatan hari kedua

09.30 – menjelang Zuhur

( 120 menit)

Materi Keutamaan Al Qur’an, (10 menit)

Belajar Membaca Al Qur’an dan tadjwid (30 menit)

Keutamaan Sholat (10 menit)

Keutamaan Zikir (10 menit)

Keutamaan Sadaqah (10 menit)

Keutamaan Tabligh (10 menit)

Penyebab kerusakan umat, (10 menit)

Kisah Perjuangan Para Sahabat dan Sifat-sifat para Sahabat Rhum. (30 menit)

Waktu Zuhur

Sholat Zuhur berjama’ah dengan masyarakat di Masjid tempat belajar.

Ba’da Zuhur

Materi Keutamaan Sholat Berjamaah  (15 menit)

13.00 – 14.30

Materi adab sehari-hari (makan minum,mandi, istinjak,wudhu;,dll) Persiapan makan siang dan istirahat.

14.30 – Menjelang Ashar

Materi Rukun Iman dari kitab Muntahab Alhadist

Waktu Ashar

Sholat Ashar berjamaah.

Ba’da Ashar

Materi Singkat Cara dan adab  berdakwah dan mengajak masyarakat setempat untuk berpartisifasi. (15 menit – 30 menit)

Berlatih zikir petang.

1 jam sebelum Magrib

Pembagian petugas untuk berlatih dakwah keliling kampong mengajak dengan lemah lembut masyarakat sekitar Masjid untuk dapat meluangkan waktu sholat berjama’ah di Masjid. (10 menit sebelum magrib harus sudah berkumpul kembali di Masjid)

Waktu Magrib

Sholat Magrib Berjamaah

Ba’da Magrib

Ceramah tentang pentingnya Iman dan Amal Sholeh (30 menit)

Menjelang Isya

Beramah tamah dengan masyarakat setempat yang hadir di Masjid.

Waktu Isya

Sholat Isya berjamaah

Ba’da Isya

Materi Belajar Adab Sehari-hari,  makan malam, Setelah makan berkunjung ke rumah-rumah masyarakat sekitar masjid atau tokoh masyarakat untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi (maksimum 30 menit)

22.00 – 22.15

Materi Belajar Adab Tidur dan Iktikaf di Masjid

22.15 – 04.00

Istirahat Iktikaf dan amalan sholat tahajud

04-00 Menjelag Subuh

Pesiapan Sholat Subuh,

Waktu Subuh

Sholat Subuh berjamaah

Ba’da Subuh

Ceramah Subuh tentang Ringkasan 6 Materi yang telah dipelajari (15 – 30 menit)

Berlatih zikir pagi

Waktu Isra’

Sholat Isra’ (waktunya (100 menit setelah waktu subuh)

07.00 – 09.00

Sarapan Pagi, Persiapan diri mandi, istirahat, silaturahmi ,dll

Hari Ketiga

09.00 – 09.30

Meeting (musyawarah) laporan hasil kegiatan dalam 1 hari dan pembagian tugas untuk kegiatan hari ketiga

09.30 – menjelang Zuhur

( 120 menit)

Materi Keutamaan Al Qur’an, (10 menit)

Belajar Membaca Al Qur’an dan tadjwid (30 menit)

Keutamaan Sholat (10 menit)

Keutamaan Zikir (10 menit)

Keutamaan Sadaqah (10 menit)

Keutamaan Tabligh (10 menit)

Penyebab kerusakan umat, (10 menit)

Kisah Perjuangan Para Sahabat dan Sifat-sifat para Sahabat Rhum. (30 menit)

Waktu Zuhur

Sholat Zuhur berjama’ah dengan masyarakat di Masjid tempat belajar.

Ba’da Zuhur

Materi Keutamaan Sholat Berjamaah  (15 menit)

13.00 – 14.30

Materi adab sehari-hari (makan minum,mandi, istinjak,wudhu;,dll) Persiapan makan siang dan istirahat.

14.30 – Menjelang Ashar

Materi Rukun Iman dari kitab Muntahab Alhadist

Waktu Ashar

Sholat Ashar berjamaah.

Ba’da Ashar

Materi Singkat Cara dan adab  berdakwah dan mengajak masyarakat setempat untuk berpartisifasi. (15 menit – 30 menit)

Berlatih zikir petang.

1 jam sebelum Magrib

Pembagian petugas untuk berlatih dakwah keliling kampong mengajak dengan lemah lembut masyarakat sekitar Masjid untuk dapat meluangkan waktu sholat berjama’ah di Masjid. (10 menit sebelum magrib harus sudah berkumpul kembali di Masjid)

Waktu Magrib

Sholat Magrib Berjamaah

Ba’da Magrib

Ceramah tentang pentingnya Iman dan Amal Sholeh (30 menit)

Menjelang Isya

Beramah tamah dengan masyarakat setempat yang hadir di Masjid.

Waktu Isya

Sholat Isya berjamaah

Ba’da Isya

Materi Belajar Adab Sehari-hari,  makan malam, Setelah makan berkunjung ke rumah-rumah masyarakat sekitar masjid atau tokoh masyarakat untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi (maksimum 30 menit)

22.00 – 22.15

Materi Belajar Adab Tidur dan Iktikaf di Masjid

22.15 – 04.00

Istirahat Iktikaf dan amalan sholat tahajud

04-00 Menjelag Subuh

Pesiapan Sholat Subuh,

Waktu Subuh

Sholat Subuh berjamaah

Ba’da Subuh

Ceramah Subuh tentang Ringkasan 6 Materi yang telah dipelajari (15 – 30 menit)

Berlatih zikir pagi

Waktu Isra’

Sholat Isra’ (waktunya (100 menit setelah waktu subuh)

07.00 – 08.00

Sarapan Pagi, Persiapan diri untuk pulang ke mesjid asal

08.00 – 09.00

Perjalanan kembali samapai di mesjid asal, pemberian pengarahan untuk mengamalkan apa yang dipelajari dan untuk meningkatkan pembelajaran setiap bulan 3 hari dan setiap tahun 40 hari atau 4 bulan tergantung kesanggupan masing-masing.

09.00

Kembali ke rumah masing-masing

 

Dari metode yang sederhana ini akan banyak sekali perubahan pada diri peserta jika peserta memang betul-betul mengikuti kegiatan demi kegiatan dengan tertib dan serius. Sudah banyak yang merasakan hasilnya termasuk diri saya sendiri.

Namun setiap metode pasti ada keunggulan dan kekurangannya karena di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali Allah dan RasulNya saja.

 

Adapun Keunggulan dari Metode ini:

  1. Biaya murah
  2. Belajar langsung praktek di lapangan
  3. Tidak ada syarat pendidikan tertentu untuk ikut serta
  4. Terbuka untuk siapa saja yang penting sudah baligh dan berakal
  5. Tidak terikat dengan tempat dan waktu
  6. Sangat baik untu para mualaf (orang yang baru masuk Islam)

 

Adapun Kekurangannya adalah:

1.      Tidak mendapat sertifikat setelah belajar, (sertifikat hanya dari Allah)

2.      Tidak ada honor untuk Amir / senior (honor hanya dari Allah)

3.      Materi bisa padat atau kurang tergantung dari pengetahuan dan ketegasan Amir (Ketua kelompok)

4.      Peserta dengan kemauan belajar yang terpaksa akan sulit mengikuti materi dan tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali perasaan bosan dan tertekan.

5.      Harus meluangkan waktu selama 3 hari tidak boleh pulang kerumah dan meninggalkan keluarga dan akifitas rutin sehari-hari. Syarat ini sangat tidak disukai orang dan bertentangan dengan nafsu (Bagi yang sungguh-sungguh dan mau belajar syarat apapun diusahakan).

6.      Untuk meningkatkan hasil yang sempurna harus berkesinambungan dan tidak berhenti hanya sekali belajar 3 hari saja. Metode ini ditingkatkan tahapnya menjadi 40 hari dan 4 bulan untuk bisa membentuk kelompok-kelompok belajar 3 hari lainnya.

 

Bagi anda yang berminat bisa menghubungi Masjid-masjid yang menyediakan fasilitas belajar 3 hari dimanapun anda berada di Indonesia dan di seluruh dunia.

2 ALIRAN PERUSAK ISLAM

Artikel ini akan membahas dua aliran yang sangat merusak akidah umat Islam dan selalu membuat pertentang an antar umat Islam sendiri. 2 aliran ini ingin menghancurkan umat Islam dari dalam. …
Dan paham-paham mereka sudah masuk kedalam paham sebagian umat Islam dan kalangan intelektual yang notabene hanya mengandalkan akal dan logika dalam beragama. Paham mereka tumbuh subur dan secara tidak sadar telah merusak ajaran Islam dan menghina ulama-ulama besar Islam yang telah membentuk suatu aturan hukum yang disebut dengan mahzab.
Waspada dengan aliran ini karena ciri-ciri aliran
– TIDAK BERMAHZAB
– BERGERAK DENGAN JARINGAN DAN ORGANISASI YANG RAPI DAN
– MENDAPATKAN DANA DARI YAHUDI YANG MERUPAKAN MUSUH iSLAM.

1. ALIRAN MU’TAZILAH (DI INDONESIA DISEBUT DENGAN JIL)
Pada tahun 100H/718M telah muncul aliran baru dalam teologi islam yang disebut aliran Mu’tazilah yang dibidani oleh Washil bin Atho’ murid Hasan al-Bashri.

Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil aqliyah dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam.

Selain nama Mu’tazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahlut-Tauhid, kelompok Ahlul ‘adil, dan lain-lain.

Sementara pihak modern yang berseberangan dengan mereka menyebut golongan ini dengan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji’ah berkenaan soal orang mukmin yang berdosa besar.

Menurut aliran Khawarij, mereka tidak dapat dikatakan sebagai mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.

Sementara itu kaum Murji’ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi dua pendapat yang kontroversial ini, Washil bin Atho’ yang ketika itu menjadi murid Hasan al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya.

Oleh karena diakhirat nanti tidak ada tempat diantara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Washil bin Atho’, yang kemudian menjadi salah satu doktrin Mu’tazilah, yakni Al-manzilah baina al-manzilataini (posisi diatara dua posisi).

Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya dikalangan mesyarakat awam kerena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW. dan para shahabatnya.

Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan intelektual, pada masa pemerintahan khlalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasiah periode 198-218 H./813-833 M. kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al- Ma’mun menyatakannya sebagai madzhab resmi negara. Hal ini desebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memakasakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalqu al-Qur’an.

Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim.

Jika al Qur an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik.

Khalifah Al-Ma’mun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian (Fit and and Proper Test) terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini.

Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Qur ‘an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting didalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadli.

Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat.

Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemeritahan yang disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, seperti al-Khuzza’i dan al Buwaythi.

Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil berkuasa pada masa 232-247 H./846-861 M. menggantikan al-Wasiq, Khalifah pada masa 228-232 H./843-846 M.

Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakil membatalkan mazhab Mu’tazilah sebagi mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.

Selama berabad-abad kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini adalah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam.

Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka asy’ariyah. Namun sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari diberbagai perguruan Islam, seperti di Al-Azhar.

Neo mu’tazilah

Seiring dengan semakin gencarnya para pemikir Barat (orientalisme) mempelajari Islam dan kemudian menyuguhkannya pada para pemikir-pemikir Islam modern seperti Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammad Arkoun, faham Mu’tazilah kini muncul dengan wajah barunya, bahkan kini sudah merambah ke tokoh-tokoh Muslim Indonesia.

Mereka, kemudian melempar isu-isu yang nakal yang dapat merusak keimanan setiap muslim, betapa tidak, beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan sudah mempertanyakan ke-otentikan al-Qur’an dan menganggap semua agama benar (pluralisme agama).

Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu yang lalu salah satu tokoh Islam Liberal Ulil Abshar secara tegas menyatakan bahwa kaum liberalis adalah penerus aliran Mu’tazilah, bahkan kalau melihat pemikiran-pemikirannya mereka justru melebihi aliran Mu’tazilah, banyak pemikir liberal mencoba merelatifkan nilai-nilai ajaran Islam dengan menyamakannya seperti budaya lain.

Hal ini dilakukan dangan merelatifkan nilai kenabian Muhammad SAW., dengan memandang beliau sama saja dengan reformis-reformis lainnya, Muhammad SAW itu adalah manusia biasa tak lebih dan tak kurang, kata Hamid Basya’ib, aktifis Islam Liberal.

Demikian juga dengan al-Qur’an, mereka mengatakan al-Qur’an adalah produk budaya, karena ia terbentuk dalam sebuah realitas budaya dan mnggunakan bahasa budaya ketika itu . Al-Qur’an itu, kata Arkoun, persis seperti Bible, ia merupakan kumpulan kata-kata Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa manusia (bandingkan dengan ide al-Qur’an adalah makhluq yang diusung oleh Mu’tazilah).

Teologi inklusif

Dalam buku ‘Teologi inklusif Cak Nur’ ditulis, “Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah kehadirat tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah World view Al qur’an, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam, yakni sikap pasrah diri kehadirat tuhan. (QS 29:46).

Selanjutnya dikatakan : “Dalam konteks inilah sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur”.

Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi “muslim” itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya bagi penganut kitab suci baik Yahudi maupun Kristen.

Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita, baik sebagai orang Islam, Kristen, Yahudi, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kemudian serta berbuat kebaikan, maka akan mendapat pahala di sisi Tuhan (QS.2:62, 5:69).

“Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologi bagi umat beragama, apapun “agama”-nya, untuk menerima pahala (surga) dari tuhan. “Bayangkan betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini”, kutip Sukidi, anak Muhammadiyah yang juga penganut Islam Liberal.

Seorang aktivis Muhammadiyah menulis untuk sebuah media massa Indonesia:

“Dan konsekuensinya, ada banyak kebenaran dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegaskan adanya kebenaran tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama, baik Hinduisme, Budhisme, Yahudi, Kristen, Islam maupun lainnya adalah benar. Dan konsekuensinya kebenaran ada dimana-mana dan ditemukan pada semua agama.

Agama-agama itu diibaratkan dalam nalar pluralisme Gandhi seperti pohon yang memiliki banyak cabang tapi berasal dari satu akar. Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama.

Karena itu mari kita memproklamirkan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah, dan karena itu mustahil pula kita melawan dan menghindar. Sebagai muslim kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum tuhan”, katanya. (Jawa Pos 11 Januari 2004) .

Teologi inklusif didasari oleh sikap relatifisme (‘Indiyyah) yang menganut faham tidak ada kebenaran mutlak. Sumber pemikiran ini apabila diurut akan berujung pada aliran Sufasta’iyyah (kaum sophist).

Dalam aqidah annasafi dinyatakan “haqaaiq al-ashya” tsabitatun wal’ ilm bihaa mutahaqqiqun, khilafan li al-shufastaiyyah” (Semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan kita akan dia adalah yang sebenarnya kecuali menurut kaum sufasta’iyyah) .

Gagasan ‘kaum peragu’ (sophist), sebagaimana ditulis dalam buku Al-‘Aqaid an-Nasafiyyah itu jelas sudah ditolak oleh Islam (khilafan li al-shufastaiyyah). Sangat jelas, akidah kita (Islam), sangat bertentangan dengan para kaum sophist ini.

Jika seorang Muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain adalah salah, maka kita bertanya, untuk apa ada konsep teologi Islam?

Jika seorang tidak yakin dengan kebenaran yang dibawanya –karena semua kebenaran dianggapnya relatif– maka untuk apa ia berdakwah atau berada dalam organisasi dakwah?

Untuk apa ia menyeru orang lain mengikuti kebenaran dan menjauhi kemungkaran, sedangkan ia sendiri tidak meyakini apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah.

Pada akhirnya, golongan “ragu-ragu” akan “berdakwah” mengajak orang untuk bersikap “ragu-ragu” juga. Mereka sejatinya telah memilih satu jenis “keyakinan” baru, bahwa tidak ada agama yang benar atau semuanya benar. Itulah kaum sophist.

Upaya dekonstruksi dan reduksi makna Islam terus berjalan, dan ironisnya jika itu dikembangkan oleh tokoh-tokoh cendikiawan muslim, ormas Islam yang bukan hanya dianggap mempunyai otoritas dalam keilmuan Islam, tetapi juga dihormati di lembaga-lembaga keagamaan, dan yang lebih ironis lagi, tidak banyak kalangan ulama dan cendikiawan bahkan kalangan pesantren yang menganggap hal ini sebagai masalah serius bagi perkembangan masa depan umat atau dakwah Islam.

2. ALIRAN WAHABY/SALAFY/KHAWARIJ
Tidak semua kelompok Wahaby rela jika disebut Wahaby, walaupun mereka semua sepakat untuk menjadikan Muhammad bin Abdul Wahab sebagai tempat rujukan dan pemimpin. Hanya beberapa gelintir orang Wahaby saja yang rela jika dirinya disebut sebagai Wahaby. Selain sebutan Wahaby memiliki konotasi negatif berupa panggilan celaan, mereka juga bersikeras untuk disebut sebagai kelompok Salafy –sebagai pengganti sebutan Wahaby- agar terhindar dari sebutan negative tadi dan supaya mendapat tempat di sisi golongan Ahlusunah wal Jamaah. Padahal jika kita teliti lebih dalam lagi niscaya akan kita dapati bahwa ajaran dan prilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan ajaran dan keyakinan para Salaf Saleh sebagai pendiri Ahlusunah. Akan tetapi ajaran dan prilaku kaum Wahaby lebih cocok jika disandingkan dan disejajarkan dengan kaum Khawarij yang telah dikutuk dalam lembaran sejarah kaum muslimin. Hal itu dikarenakan Rasul sendiri pun telah mencela mereka. Dan pada kenyataannya, terbukti sebagian orang telah menyamakan kaum Wahabi (Salafi) dengan kelompok Khawarij dengan melihat beberapa kesamaan yang ada.

Melihat dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi sekarang ini. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan dan kelanjutan dari kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Secara global dapat disebutkan beberapa sisi-sisi kesamaan antara kelompok sesat Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela oleh Rasulullah saw.

Rasul pernah memberi julukan golongan sesat (Khawarij) tersebut dengan sebutan “Mariqiin”, yang berarti “lepas” dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[Lihat: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal jilid :2 halaman:118] Sedikitnya terdapat enam sisi-sisi kesamaan antara dua golongan ini yang tentu meniscayakan vonis hukuman dan konsekuensi yang sama pula. Adapun enam sisi kesamaan tadi mencakup:

Pertama: Sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran (Takfir), walaupun dalam beberapa hal sebutan-sebutan itu memiliki kesamaan dengan kekafiran itu sendiri jika dilihat dari konsekwensi hukumnya. Oleh karena itu, kaum Wahaby juga layak dijuluki dengan sebutan Jama’ah Takfiriyah (kelompok pengkafiran), suka dan hoby menyasatkan dan mengkafirkan kelompok muslim lain selain kelompoknya. Mereka (Wahaby dan Khawarij) sama-sama merasa hanya ajarannya saja yang benar-benar murni dan betul. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197] Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi palsu (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (Muthowi’) menuduh para jamaah haji -tamu-tamu Allah (Dhuyuf ar-Rahman)- sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan mereka. Padahal semua orang muslim datang menuju Baitullah Ka’bah dengan tetap meyakini bahwa “tiada tuhan melainkan Allah swt dan Muhammad saw adalah utusan Allah swt”.

Kedua: Sebagaimana kelompok Khawarij telah disifati dengan “Pembantai kaum muslim dan perahmat bagi kaum kafir (non-muslim)”, hal itu sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”,[Lihat: kitab Majmu’ah al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah Jilid: 13 halaman: 32] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji tersebut, terkhusus di awal-awal penyebarannya. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah berupa pembantaian beberapa kabilah Arab muslim yang menolak ajaran sesat Wahabisme. Hal itu pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi. Ia dengan dukungan Muhammad bin Saud -amir wilayah Uyainah- yang mendapat bantuan penuh pasukan kolonialis Inggris yang kafir sehingga akhirnya dapat menaklukkan berbagai wilayah di dataran Arabia. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan di beberapa tempat, terkhusus di wilayah Hijaz (sekarang Arab Saudi) dan Irak kala itu, dikarenakan penolakan mereka atas ajaran sesat Muhammad bin Abdul Wahab.

Ketiga: Sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir yang darahnya halal, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama. Mereka menuduh kaum muslim yang berziarah kubur Rasulullah dengan sebutan syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang semua itu sama dengan pengkafiran terhadap kelompok-kelompok tadi.

Keempat: Sebagaimana kelompok Khawarij memiliki jiwa Jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama. Banyak hal mereka anggap bid’ah dan syirik namun dalam penentuannya mereka tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan kuat, bahkan mereka tidak berani untuk mempertanggungjawabkan tuduhannya tersebut dengan berdiskusi terbuka dengan kelompok-kelompok yang dianggapnya sesat. Kita dapat lihat, blog-blog dan situs-situs kelompok Wahaby tidak pernah ada forum diskusi terbuka. Sewaktu jamaah haji pergi ke tanah suci tidak diperkenankan membawa buku-buku agama dan atau buku tuntunan haji melainkan yang sesuai dengan ajaran mereka. sementara di sisi lain, mereka menggalakkan dakwah dan penyebaran akidahnya melalui berbagai sarana yang ada –seperti penyebaran buku, brosur, kaset dan sebagainya- kepada para jamaah haji yang Ahlusunah. Ini merupakan bentuk dari pemerkosaan akidah Wahaby dan perampokan keyakinan Ahlusunah wal Jamaah.

Kelima: Sebagaimana kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajarannya yang telah menyimpang dari agama Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah saw, Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama sehingga keislaman mereka pun layak untuk diragukan. Pengkafiran kelompok lain yang selama ini dilakukan oleh kaum Wahaby cukup menjadi bukti konkrit untuk meragukan keislaman mereka. karena dalam banyak riwayat disebutkan bahwa barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim maka ia sendiri yang terkena pengkafiran tersebut. Dalam sebuah hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi dimana Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas tenggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam) sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[Lihat: kitab Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123] Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd. [Lihat: kitab Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626] Sedang dalam satu hadis lain disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”. [Lihat: kitab Musnad Ahmad bin Hanbal jilid: 2 halaman:81 atau jilid: 4 halaman: 5] Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan”. Dalam kamus bahasa Arab, kata “qorn” berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum atau kekuasaan. [ Lihat: kitab Al-Qomuus jilid:3 halaman:382, asal kata: qo-ro-na] Sedang kita tahu bahwa kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi, pendiri Wahabisme. Selain kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme dan dari situ pulalah pemikiran Wahabisme disebarluaskan dan diekspor ke segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dari semua hadis tadi dapat diambil benang merah bahwa di kota Najd-lah tempat munculnya pengikut ajaran Setan –dimana setan ini terkadang dari golongan jin ataupun dari golongan manusia, sedang yang dimaksud di sini adalah as-Syaithonul-Ins atau setan dari golongan manusia- yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab dimana kelompok tersebut kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wahaby atau Salafy sebagai klaim kosongnya (Salafy palsu). Tanda-tanda yang lebih nampak lagi ialah, mereka sangat lancar dan fasih sewaktu menuduh kelompok selainnya dengan sebutan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.

Keenam: Sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam) jika penduduknya banyak melakukan maksiat dan dosa besar maka mereka kategorikan sebagai “negara zona perang” (Daar al-Harb). Karena menurut mereka dengan banyaknya perbuatan maksiat tadi maka berarti penduduk muslim tadi telah keluar dari agama Islam (kafir). Kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal yang sama. Akhir-akhir ini dapat dilihat secara faktual, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi –seperti jaringan al-Qaedah- melakukan aksi teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum muslimin juga –dengan berbagai usia dan gender- sebagai korbannya.

Tujuan diluncurkannya blog ini adalah agar kaum muslimin mengenal dan akan menjadi jelas apa dan siapa kelompok yang mengaku-ngaku sebagai Salafi selama ini, yang mengaku-ngaku sebagai penghidup kembali ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita semua bisa lebih waspada dan mawas diri terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari ajaran Islam Muhammad Rasulullah tersebut. Alasan kewaspadaan kita juga dikarenakan kaum Wahaby (Salafy palsu) itu selalu menganggap mazhabnya adalah mazhab yang paling benar, dirinya sebagai orang yang paling bertauhid dan ajarannya adalah ajaran yang paling bersih dari syirik, bid’ah, takhayul dan khurafat. Sehingga dari situlah akhirnya mereka mudah menuding golongan lain –selain golongannya- dengan sebutan ahli bid’ah, penganut syirik, berkeyakinan khurafat dan takhayul. [Lihat: kitab Ar-Rasail al-Ilmiyah karya Muhammad bin Abdul Wahab Hal: 79] Padahal jika kita lihat, dalam ajaran Islam dan prilaku Salaf Saleh membuktikan bahwa menuduh seseorang dengan julukan-julukan tadi bukanlah perbuatan mudah, perlu ada dasar yang kuat dan bukti yang konkrit dari al-Quran dan as-Sunah yang sahih. Dan terbukti Rasulullah dan para Salaf Saleh tidak pernah melakukan pengkafiran semacam itu kecuali terhadap orang-orang yang terlibat dalam gerakan Khawarij. Blog ini juga dalam rangka akan membuktikan bahwa apa yang mereka ajarkan adalah pemahaman salah dan penerapan kosong dari al-Quran, as-Sunah as-Shahihah dan ajaran Salaf Saleh. Mereka ternyata hanya menyandarkan pendapatnya pada fatwa-fatwa para ulama Wahaby yang mayoritas berasal dari Saudi Arabia (seperti para anggota Lajnatul Ifta’), negara muslim kaya minyak yang sangat royal dan loyal terhadap semua kepentingan USA, namun kikir terhadap kepentingan sesama muslim. Bahkan beberapa tahun yang lalu Arab Saudi -yang konon- bertujuan untuk melindungi al-Haramain as-Syarifain (Makkah dan Madinah) pun harus mendatangkan bala tentara yang jelas-jelas kafir (tentara USA) ke tanah suci umat Islam sehingga beberapa kasus pelecehan pun terjadi di sana-sini. Apakah semua ini adalah hakekat pemraktekkan ajaran Salaf Saleh yang mereka dengung-dengungkan selama ini? Jika mereka benar akan menegakkan ajaran Salaf Saleh niscaya mereka tidak akan merendah dan menghamba terhadap orang kafir. Mana akidah tauhid murni yang konon mereka dapati dari al-Quran, as-Sunnah dan prilaku Salaf Saleh yang hendak mereka tebarkan, namun pada kenyataannya ternyata mereka tidak konsekuen karena terbukti mereka masih berlindung di bawah ketiak manusia-manusia kafir tentara USA, padahal penjagaan Masjidil Haram telah dijamin sebagaimana yang disinyalir dalam al-Quran surat al-Fiil (kisah Abrahah)? Apakah mereka sudah tidak mengimani lagi al-Quran sehingga harus mengundang tentara Kafir ke tanah suci, ataukah ada maksud lain? Atau kenapa mereka harus menggunakan metode “pengkafiran” kelompok lain yang tidak sepaham dengannya, apakah hal itu yang diajarkan oleh para Salaf Saleh? Bukankah para Salaf Saleh –Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in- adalah orang-orang mulia yang tidak mudah menuduh orang lain yang tidak sependapat dengan mereka dengan tuduhan-tuduhan busuk semacam itu? Pendustaan atas nama Salaf Saleh model apakah ini? Masih layakkah mereka mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran Salaf Saleh yang berdasar al-Quran dan as-Sunnah as-Shahihah sedang mereka masih terus melakukan pengkafiran kelompok muslim lain dan masih terus bermesraan dengan golongan kafir seperti Yahudi beserta sekutunya?

KESIMPULAN:

Aliran pertama :
bersifat serba boleh dan mengutamakan kebebasan dalam merepresentasikan ajaran agama (liberal), sehingga umat boleh tidak beramal tidak sholat dan bebas berfikir liar tentang agama karena tidak ada pembatas dalam pola fikir mereka.

Aliran kedua:
Bersifat serba tidak boleh dalam beramal, membatasi amalan dengan sebutan bid’ah,kurafat,dan kafir kepada kelompok lain yang melakukan amalan agama sehingga mendorong umat menjadi ragu-ragu dalam setiap amalannya.
.
NASEHAT:
1. Tetaplah berpegang teguh dengan Al Qur’an dan hadist baginda SAW.
2. Ikutlah Mahzab karena ulama – ulama dan guru-guru kita belajar dari mahzab yang telah dishahihkan oleh ulama-ulama besar yang megorbankan seluruh hidupnya untuk agama.
3. Bagi Umat Islam Indonesia mahzab yang banyak dipakai adalah mahzab Imam Safi’i.
4. Sejarah islam Indonesia memang langsung disearkan oleh para sahabat Nabi Radiallahu anhum, terbukti dengan ditemukannya beberapa makam sahabat nabi di Barus Sumatera Utara, dan tempat lain di Indonesia.

SUMBER: Dari berbagai sumber

MENGAPA SALAFY SUKA MEMVONIS ORANG KAFIR,KURAFAT,AHLI BID’AH, SESAT,…?

Apakah Salafy itu Tuhan…
Apakah dia berhak memvonis golongan lain yang bukan golongannya menjadi sesat,kafir,murtad,iblis,bid’ah,masuk neraka..dll.
Inilah dakwah golongan orang yang suka membingungkan umat yang memang sudah bingung.
Wahai saudaraku para salafy jangan anda sala fyli.
Nanti anda rugi sendiri.
Jangan suka memvonis orang lain yang tidak sepaham dengan anda.
jangan suka memfitna para ulama besar dengan tulisan – tulisan anda yang sering saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.