DA’I muda itu tercenung beberapa saat. Akhirnya ia mengangguk tidak terlalu kentara sambil berucap perlahan. “Baiklah, insya Allah saya bisa melakukannya untuk kesempatan mendatang.” Beberapa pengurus masjid duduk bersila di sekitarnya. Mereka menyambut jawaban sang da’i dengan wajah puas.
Pertemuan itu usai. Setelah berjabat tangan dengan beberapa orang, da’i muda itu bangkit dari duduknya sambil mengucap salam meninggalkan ruang rapat pengurus masjid. Langkahnya ringan, sikapnya pasti. Tapi, sungguh keadaan batinnya saat itu tidak seringan dan seoptimis penampilannya. Seolah ada yang membebaninya hingga langkah-langkah kakinya menuju rumah menjadi berat dan kaku. “Inilah kehidupan da’i,” pikirnya berusaha menghibur diri sambil terus berjalan menuju halte pemberhentian mikrolet. Jama’ah dan orang lain tidak banyak tahu bahwa di balik penampilan yang meyakinkan lewat khotbah dan ceramah-ceramahnya. Seorang da’i masih tetap merupakan manusia biasa. Ia tetap memiliki masalah-masalah dalam hidupnya. Seperti yang dialaminya kini.
Sebenarnya, telah beberapa kali ia diminta untuk memberi ceramah tentang hijab oleh beberapa pengurus masjid Namun, selama itu pula ia menolak dengan halus. Masalah hijab dan jilbab merupakan materi da’wah yang terasa amat berat baginya. Ia merasa belum sanggup untuk melaksanakannya.
Masalahnya, bukan lantaran ia kurang menguasai materinya. Bukan … bukan itu. Walaupun boleh dibilang ia mengetahuinya belum terlalu lama, namun dalil-dalil dan nash-nash tentang hijab dari al-Qur’an dan hadits sudah termemori dengan baik dalam ingatannya. Lagi pula masalah itulah yang selama ini senantiasa menjadi bahan pikirannya. Ia tak perlu lagi membuka catatan-catatan kecilnya yang selalu terselip di saku kemejanya untuk mem-bacakan sural al-Ahzab 59, atau sural an-Nur 31, atau hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang kewajiban setiap muslimah untuk mengenakan jilbab. Semua itu ia hafal dan kuasai. Namun, masalahnya lebih gawat dari itu. Bagaimana tidak? Coba bayangkan, ia harus berceramah tentang kewajiban jilbab bagi setiap muslimah Sementara isterinya sendiri sampai kini belum berjilbab Pengurus masud itu belum tahu keadaan sebenarnya. Bagaimana ia dapat menyampaikan ayat-ayat Allah dengan baik kepada jamaah, sedangkan ia sendiri belum sanggup untuk melakukan apa yang disampaikannya.
Mikrolet yang ditunggu-tunggu belum muncul juga. Ada memang dua yang sudah lewat, namun sudah terlalu banyak manusia berjejal di dalamnya. Ia tak bergairah untuk saling berebut. Menunggu angkutan pada jam-jam selepas kantor seperti ini memang bukan suatu pekerjaan ringan dan menyenangkan. Itu sudah jamak di mana-mana di setiap pelosok Jakarta. Dalam saat-saat seperti ini, ia teringat kembali nasib scooternya yang terpaksa dijual kira-kira sebulan yang lain. “Seandainya scooter itu masih ada, tentu tak perlu hampir setiap sore menunggu angkutan seperti ini,” pikirnya mulai berandai-andai.
Namun, cepat ia menepis pikiran itu. Tak ada pilihan, scooter itu memang harus dijual untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya yang lebih mendesak. Masalah keuangan memang selalu menjadi problem sejak beberapa bulan terakhir ini. Honornya sebagai seorang penceramah tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan rumah tangganya sampai akhir bulan. Apalagi semenjak usaha sampingannya berjualan kain batik dan bahan tekstil tersendat-sendat akhir-akhir ini. Ia menerima ini sebagai konsekuensi pilihan yang memang sudah diperhitungkan sejak mula. Dulu, ia sempat bekerja pada perusahaan swasta yang cukup besar. Posisinya lumayan. Gajinya memadai. Karirnya cukup menjanjikan. Pada akhirnya ia harus keluar. Ia merasa, di situ bukan tempat yang cocok baginya. Banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan hati nuraninya.
Isterinya pun semula bekerja di swasta. Namun, semenjak da’i muda itu belajar tentang Islam secara serius barulah ia mengetahui bahwa fitrah seorang isteri adalah di rumah. Ia kemudian meminta isterinya agar keluar dari pekerjaannya. Bukan perkara mudah baginya untuk membujuk dan memberi pengertian pada isterinya. Semula, isterinya dengan tegas menolak. Wataknya memang keras. Tiga bulan adalah wakru yang ia gunakan untuk membujuk isterinya secara terus menerus hingga akhirnya sang isteri pun mau mengalah. Alhamdulillah. Langkah pertama sukses. Tapi, langkah-langkah berikutnya masih tanda tanya besar. Entah berapa lama ia butuh waktu untuk meluluhkan hati isterinya tentang soal jilbab.
Namun, da’i muda itu sadar. Ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan isterinya. Dirinya pun punya andil atas sikap keras isterinya. Awalnya memang telah keliru. Ia menikahi isterinya dalam keadaan tidak berjilbab. Kalau sekarang ia gencar menyuruh isterinya berjilbab, tentu isterinya akan berkeras pula menggugat sikap awal ketika hendak menikahinya dulu. Dulu kok, mau?! Nah lho, apa tidak mati kutu. Seandainya sejak pertama ia pagi-pagi sudah mewajibkan isterinya berjilbab, tentu masalahnya akan lain.
Ia memang terlambat mengetahui tentang hukum jilbab. Sesungguhnya dulu ketika masih di kampung, ia pun pernah membaca ayat-ayat tentang jilbab. Namun, ia tak pernah mengkajinya secara mendalam, hingga lewat begitu saja dalam ingatannya. Ia dibesarkan di lingkungan santri di sebuah kota kecamatan kecil yang termasuk wilayah Kabupaten Pekalongan. Sebagaimana umumnya pemuda-pemuda desa, pertama kali ia menginjakkan kakinya di rantau, saat ia mengira dirinya telah banyak memiliki bekal ilmu agama. Namun, kesadaran baru menyergapnya ketika ia mulai tertarik untuk belajar Islam secara intensif dan sungguh-sungguh. Ternyata, banyak hal yang selama ini dilakukannya dan dianggapnya benar, ternyata keliru menurut nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Tradisi-tradisi ritual yang berkembang di tengah masyarakat banyak yang mengatasnamakan Islam. Namun, sesungguhnya itu semua jauh dan nilai-nilai Islam, hingga menimbulkan kerancuan yang mengundang kesalahpahaman tentang Islam. Ia dulu juga melakukan hal-hal seperti yang banyak dilakukan orang pacaran, nonton, mendengar musik, merokok, dan lainnya. Karena sudah umum dilakukan orang, ia menyangka bahwa hal-hal semacam itu memang tak dilarang oleh Islam
Suara klakson mengejutkannya. Itu dia ada mikrolet kosong. Cepat ia beranjak menyongsongnya. Ia duduk di pojok. Tak ada pilihan lain. Di sebelahnya seorang wanita muda, barangkali wanita karier. Di depannya juga. Da’i muda itu melepas pecinya, digunakan untuk mengusir gerah dan bau aneka rupa keringat dan aroma parfum wanita di sebelahnya. Dalam hati hati ia mengucap syukur bahwa isterinya setiap sore tak lagi harus turut berdesak-desakan dalam mikrolet dan bis kota sehabis pulang kerja seperti perempuan di sebelahnya ini. Ingatannya berkelana mengenang isterinya dan pertengkaran-pertengkaran di antara mereka yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Masih melekat perdebatannya pagi tadi sebelum ia pergi: “Apa sampeyan tidak merasa, jeng … bahwa sesungguhnva Allah itu telah menyindir orang-orang seperti kita ini lewat firman-Nya: “Apakah kalian beriman pada sebagian isi kitab-Ku, sedangkan sebagian lainnya kalian menging-karinya?” Itulah kita saat ini.”
Dengan menarik nafas panjang istrinya menjawab dengan nada keras dan kesal. “Kenapa sih baru Mas ributkan masalah ini sekarang? Tiap hari itu-itu saja yang diungkit-ungkit. Aku bosan bertengkar terus, kenapa tidak dari dulu-dulu, sebelum kita kawin misalnya …”
Da’i muda itu lain menjangkau telapak tangan isterinya, berusaha meredakan emosi isterinya. Nada suaranya yang semula sempat terpancing meninggi, kini kembali melunak.
“Dulu ‘kan aku belum tahu hukumnya. Nah, sekarang aku sudah tahu, maka aku wajib memberitahukanmu, Jeng. Cobalah renungkan, aku ini seorang da’i. Setiap tingkah lakuku seyogyanya kan harusmencerminkan setiap ucapan-ucapanku di mimbar. Nah bagaimana aku bisa berkhotbah dengan baik tentang jilbab kalau isteriku sendiri tidak berjilbab.”
“Setiap kali keuar rumah ‘kan aku selalu mengenakan kerudung selendang Mas,” protes isterinya.
“Selendang belum menutup auratmu dengan sempurna. Rambutmu masih keluar-keluar, lehermu masih kelihatan, anting-antingmu juga, bentuk dadamu belum tertutup sempuma.”
Dalam keadaan demikian biasanya sikap keras hati isterinya akan menonjol. Da’i muda itu sudah hafal betul, karenanya ia tidak terlalu surprise ketika isterinya menyanggah, masih dengan nada protes:
“‘Tapi bukankah banyak para ustadzah dan juru da’wah wanita yang hanya melilitkan selendang di kepalanya saat mereka memberikan ceramah agama pada para jama’ah?”
“Itu memang kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Tapi harus diingat, walaupun mereka itu da’iyah atau ustadzah yang luas ilmu agamanya. tapi tidak tertutup kemungkinan mereka untuk keliru, justru di bidang yang digelutinya sehari-hari. Untuk tingkatan mereka seharusnya mereka sudah tahu hukumnya. Entahlah, apa sebabnya sebagian mereka belum bisa melaksanakannya. Yang penting kita perbaiki diri kita dulu. Sesuatu yang keliru tak perlu kita jadikan contoh. Yang jadi pedoman kita hanya al-Qur’an dan Hadits”
“Tapi terus terang, Mas, aku belum siap untuk mengenakan jilbab. Apa nanti kata orang dan saudara-saudara melihat aku pakai jilbab panjang dan jubah lebar, nanti pasti dibilang ekstrimlah, fanatiklah, atau sebutan-sebutan tak enak lainnya.”
“Begini Jeng, setiab perempuan itu sudah siap untuk mengenakan jilbab begitu ia menginjak usia akil baligh. Itu sudah fitrah. Kita saja yang suka mengingkarinya. Coba pikirkan, setiap muslimah setiap kali shalat ia harus mengenakan kerudung yang menutup seluruh auramya kecuali raut muka dan telapak tangan. Seperti itulah seharusnya penampilan muslimah di luar rumah, artinya menutup seluruh auratnya. Itu yang disebut fitrah. Jadi, bukan seperti keadaan yang banyak dilakukan para muslimah sekarang; mengenakan kerudung di saat shalat, memamerkan aurat setelahnya.”
Sang isteri menarik tangannya cepat dari genggaman suaminya. Marah betul agaknya ia.
“Kau ini memang pandai betul bicara, Mas!” katanya ketus sambil bcrdiri menjajakan kemarahannya. Wah, gawat nih.
“Pokoknya aku sudah bosan dengan tuntutan-tuntutanmu itu. Kau menuntutku terlalu banyak, Mas. Selama ini aku sudah berusaha untuk sabar dan selalu mengalah, namun bukannya engkau mengerti, malah semakin menekan dan menuntutku.”
Da’i muda itu tak menjawab. Ia hanya memandang redup isterinya dengan kegalauan yang bertimbunan. Sementara air mata isterinya mulai bercucuran, namun tetap melanjutkan melampiaskan perasannya yang terpendam selama ini.
“Sikap-sikapmu bukan hanya sering menyakiti hatiku, tapi juga sering membikinku malu. Tahukah Mas, bahwa kita ini jadi bahan pergunjingan di antara tetangga dan saudara-saudaraku yang lain. Jeng… suaminya itu ikut aliran apa sih? Begitu sering tanya mereka kepadaku Aku yang risih, Mas? Tidak mau salaman dengan perempuanlah, tidak mau ikut ngobrollah, tidak mau ini, tidak mau itu, dan banyak lagi sikap-sikapmu di mata orang ganjil dan tidak umum. Mas. aku ini juga banyak kenal dengan isteri-isteri yang bersuamikan da’i. Tapi, menurutku mereka biasa-biasa saja, tidak neko-neko, tidak aneh-aneh, tidak memaksa isterinya berjilbab, tidak melarang isterinya bekerja kantoran, bergaul biasa. Coba, kurang taat apalagi aku padamu? Ketika engkau memintaku berhenti bekerja, aku menurut. Dan apa hasilnya kini? Ekonomi kita malah tidak karu-karuan, sementara engkau hanya sibuk dengan duniamu sendiri Alhamdulillah aku masih punya sedikit tabungan, kalau tidak… entah apa jadinya rumah tangga kita ini….”
Ia hanya bisa mendesah pendek. Setiap kali berdebat dan kemudian berujung pada satu hal itu, maka hilang sudah seleranya untuk bicara lebih lanjut. Pertengkaran-pertengkarannya selama ini hampir selalu bermuara di situ.
“Prapatan ada turun…?” seru sopir mikrolet membuyarkan lamunannya.
“Ya, ya,.. depan kiri!”
***
Tantangan da’wah memang beraneka rupa bentuknya. Namun terasa lebih berat justru tantangan yang berasal dari diri dan keluarga sendiri. Dan itu tengah dialaminya kini. Selama ini menurut pengamatannya, da’wah tentang masalah hijab dan jilbab jarang sekali disampaikan oleh para ulama dalam ceramah dan khotbah mereka. Kalaupun ada, itu hanya dalam lingkungan terbatas dan umumnya dilakukan justru oleh da’i-da’i berusia muda. Sementara ulama-ulama senior yang ilmu fiqh dan agamanya tak perlu lagi diragukan, kebanyakan justru mengambil tema-tema da’wah yang sudah umum sifatnya, yang sudah biasa di-dengar ummat. Akibatnya, masalah hijab dan jilbab seperti suatu lahan yang tidak tergarap, tersisih dan luput dari per-hatian. Sementara di tengah ummat sudah banyak terdapat ghazwul fikri dari berbagai penjuru yang justru menyudutkan perintah hijab dan jilbab. Ummat menjadi asing dengan persoalan itu, atau sengaja diasingkan. Pengetahuan ummat serba gelap, meraba-raba sehingga cenderung menilainya dengan sikap bermusuhan dan prasangka buruk. Ini menjadi kewajiban ulama atau setidaknya mereka yang telah tahu untuk meluruskannya. Kalau selama ini belum banyak ulama yang mengangkat bidang ini, mungkin disebabkan karena mereka memiliki persoalan yang sama seperti yang tengah dihadapinya saat ini. Itulah antara lain yang memotivasinya mengapa ia tetap ngotot berusaha memberikan pengertian tentang kewajiban berjilbab pada isterinya, sebelum ia benar-benar terjun memasuki lahan yang belum banyak tergarap ini. Kalau perlu. ambil itu sebagai spesialisasi. Dokter saja punya spesialisasi, da’i pun bisa. Karenanya, ia sempat marah dan kecewa besar ketika beberapa hari yang lalu isterinya pernah menyarankan hal yang seolah menyepelekan tekadnya.
“Mas tokh bisa mencari materi khotbah yang lain,” begitu kata isterinya. Kontan, ia meradang. Isterinya seolah takjub melihatnya.
Waktu semakin mepet. Tiga hari lagi. Dan belum ada tanda-tanda yang menunjukkan tentang perubahan sikap isterinya. Kegelisahannya memuncak. Maka, sore itu ter-jadilah adegan ulang untuk yang kesekian kalinya. Ia ajak isterinya untuk membicarakan masalah satu itu. Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya, isterinya telah memotongnya dengan sengit bersama kemarahannya yang memuncak.
“Itu lagi! itu lagi! Hanya itu yang ada dipikiranmu, Mas! Pernahkah engkau ikut memikirkan tentang sewa rumah kita yang akan habis bulan depan… atau hutang kita yang belum terbayar di warung sebelah, atau uang listrik yang terpakai untuk menutupi uang belanja?!! Kau tak pernah memikirkan semua itu. Kau sibuk sendiri dengan idealis-memu. Aku malu, Mas, malu…. tiap akhir minggu harus hutang pada bapak dan ibu hanya untuk mengasapi dapur kita. Sudah, aku tak mau lagi mendengar engkau menyinggung tentang soal ceramahmu itu?”
Bersamaan dengan itu meledaklah tangis isterinya, lalu berlari kecil menuju kamar. Braaakkk! Pintu terbanting kencang. Braakkk! Terbanting pula harapan da’i muda itu. Ia memandang hampa ke arah kamar yang telah tertutup rapat itu. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar,” terngiang ucapannya sendiri ketika berkhotbah di depan jamaah
***
Dua bulan kemudian.
Menunggu mikrolet lagi. Begitulah aktivitasnya setiap sore. Tapi sekarang belum sore. Da’i muda itu menyandarkan tubuhnya di tiang halte pemberhentian. Wajahnya tampak kusut dan letih. Peci yang biasa dikenakannya, tidak tampak. Kesedihannya tampak dari matanya yang memandang nyaris tidak peduli pada mikrolet yang kebetulan kosong dan berhenti persis di depannya. Ia baru saja mengurus proses talak isterinya di Pengadilan Agama.
Ia menelan ludah untuk menyingkirkan kepedihan hatinya. Pahit ludahnya. Namun apa yang harus dihadapinya lebih pahit lagi. Ia harus menerima kenyataan tentang kegagalannya. Kegagalan rumah tangganva Kegagalan da’wahnya. Hatinya nelongso. Namun ia masih tetap berharap, insya Allah isterinya ditunjukiNya hidayah dan akan berubah penilaian dan pendiriannya. Ia masih mencintai isterinya itu dan belum tertutup jalan untuk rujuk kembali.
“Pak Ustadz…!”
Sebuah suara mengejutkannya. Ia menoleh. Seorang laki-laki setengah baya datang menghampiri sambil melempar senyum.
“Assalamu alaikum…!”
“Wa’alaikum salam… Masih ingat saya, Pak Ustadz?” tanya laki-laki itu ramah
“Sebentar, sebentar,… saya ingat-ingat dulu…”
“Masak Pak Ustadz lupa sih.” kata laki-laki itu tanpa memberikan kesempatan padanya untuk berpikir lebih lama. “Saya jamaah masjid al-Ikhlas, itu lho, yang merekam ceramah Pak Ustadz beberapa waktu yang lalu, pasti Pak Ustadz ingat….”
“Oh ya, ya… ingat saya sekarang. Bagaimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, baik-baik saja. Tadi saya lihat Pak Ustadz dari mikrolet maka saya turun di sini. Ini lho Pak Ustadz, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih…”
“Terima kasih? Soal apa…..?”
“Dulu ‘kan saya pemah minta izin Pak Ustadz untuk merekam ceramah Pak Ustadz tentang hijab dan jilbab di masjid al-Ikhlas. Kasetnya saya bawa pulang, lalu di rumah disetel oleh isteri saya. Tiba-tiba saja dua hari kemudian ia dan anak gadis saya menyatakan keinginannya untuk berjilbab. Saya sendiri sampai takjub, nyaris tak percaya. Lha, wong anak gadis saya itu semula tomboynya minta am pun, kok. Rupanya mereka mendapat hidayah dari Allah lewal ceramah Pak Ustadz itu…”
“Alhamdulillah…..!
Ada setetes kesejukan meresap di hati da’i muda itu. Subhanallah. Walau setetes. cukuplah baginya untuk melarutkan hamparan kepahitan dan kegagalan yang baru saja dialamiya. Ia pun berdo’a memohon hidayah untuk isterinya, seperti Dia telah memberikan hidayahNya kepada berjuta-juta ummat manusia. Ia ingin berkumpul kembali dengan isterinya dalam kesatuan jiwa, satu hati dan satu pandangan. Amin. (T.Prasojo)
TAMAT