Bagaimana Menyelamatkan Keluarga dari Siksa Api Neraka…?

Hampir semua lapisan masyarakat berpendapat bahwa “Untuk apa dakwah 3 hari, 40 hari 4 bulan tinggalkan anak istri dan menghabiskan uang yang banyak” yang harus kita perbaiki itu yang paling utama keluarga kita dulu baru orang lain.

Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At Tahrim 6)

Nabi Nuh as tidak bisa menyelamatkan istri dan anaknya dari neraka. Nabi Muhammad SAW tidak bisa menyelamatkan pamannya dari apai neraka. Kita hari merasa hebat bisa menyelamatkan keluarga dari apa neraka.

Nabi Ibrahim as tinggalkan anak dan istrinya 13 tahun untuk dakwah. Nabi Ibrahim as tidak sedikit pun pernah mengajarkan anaknya Ismail agama selama 13 tahun.

Seorang Tabiin bernama Al Farooq telah tinggalkan isrti yang hamil selama 27 tahun untuk dakwah kembali maka anaknya jadi Ulama hebat yaitu Rabiah al Farooq dimana Imam Imam besar Maliki, Hasan Basri dll belajar hadits darinya.

Yang memberi hidayah Allah, yang memberi femahaman Allah, yang menyelamatkan keluarga dari api neraka pun Allah.
Setiap manusia baik dia petani, pegawai, pejabat dsb kalau masuk rumah apa yang dia pikirkan…? Hampir semua suami yang masuk kerumah ketika pulang bekerja atau jam istirahat pulang kerumah yang dipikirkannya adalah :

1. Makan
2. Berhubungan suami istri

Jadi, kapan kita berpikir supaya menyelamatkan keluarga dari neraka…?

Supaya ada pikir agama ketika masuk rumah ya keluar 3 hari dulu.

Setelah keluar 3 hari baru nanti anda tahu bagai mana caranya menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka…?

Ketika masuk rumah akan ada pikir bagai mana caranya supaya istriku tutup aurat. Supaya anakku mau shalat. Ini akan langsung kita amalkan bukan hanya dipikirkan dengan menghidupkan taklim dirumah dan mudzakarah agama dirumah. Supaya istri juga ada pikir agama diajak juga keluar 3 hari.

Supaya tetangga kita yang preman itu ada pikir agama dan bisa menyelamatkan diri dan keluarganya dari api neraka ajak juga keluar 3 hari.

Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=190361734322807

MENJAWAB PERSOALAN JEMAAH TABLIGH TINGGALKAN ANAK ISTERI UNTUK KELUAR DI JALAN ALLAH

JEMAAH TABLIGH TINGGALKAN ANAK ISTRI LI I’LAI KALIMATILLAH.

Perginya seorang keluar di jalan Allah bukan untuk habiskan waktu di masjid, duduk2, dzikir, pegang tasbih, kalaulah ini yang dibuat maka ini adalah bentuk kezaliman terhadap keluarga. Tetapi para shahabat dahulu tinggalkan isteri berbulan-bulan bahkan ada Al Faruq ayah dari Rabi’ah Al Faruq seorang muhaddits telah tinggalkan istri 27 tahun adalah untuk meninggikan kalimat Allah dengan berdakwah. Datang dari kampung ke kampung, Bandar ke Bandar, dengan cara membentuk Jemaah dakwah. Bahkan di zaman Rasulullah saw tak kurang dari 150 jemaah telah dihantar Rasulullah saw. Dan Nabi sendiri telah ikut tak kurang dari 25 kali. Kini orang ramai ingin tegakkan agama hanya dengan duduk2 di kedai kopi sambil mencela sesama muslim…Mungkinkah???

TERTIB DAKWAH JEMAAH TABLIGH ADA DALAM KITAB HAYATUSHAHABAH.

Maulana Muhammad Yusuf Rah A telah berkata: Kalau saya tuliskan suatu kitab usul atau tertib kerja dakwah tabligh ini maka yang membaca hanyalah orang-orang yang ikut dalam kerja dakwah saja sedangkan yang lain tidak membacanya. Padahal dakwah ini memiliki usul dalam kehidupan para sahabat nabi. Karena Allah swt jadikan shahabat sebagai contoh tauladan umat. Untuk itulah saya tuliskan kitab HAYATUSSHAHABAH. Maulana Ahmad Lat telah berkata bahwa kitab Hayatusshahabah sudah cukup untuk dijadikan ushul dalam kerja dakwah dan tabligh ini, tak perlu tambahan apa-apa, siapa yang ikut cara mereka akan ada jaminan keselamatan baginya. Hayatusshahabah dihimpun dalam 3 jilid. Ketiga jilid merupakan keajaiban yang besar, karena belum ada kitab hadits yang ditulis dengan cara seperti ini. Permulaan kitab ditulis dengan ayat : “Dari kalangan orang beriman ada laki-laki yang telah membenarkan janjinya kepada Allah yakni mereka syahid dan mencari cari jalan untukk syahid” Seolah-olah Maulana Yusuf Rah A ingin katakan inilah kitab yang berisi kisah orang yang telah tunaikan janjinya kepada Allah SWT. Akhir dari kitab ini adalah carita tentang bantuan-bantuan Allah secara ghaib yang diberikan kepada para shahabat. Sehingga tengah-tengah antara keduanya adalah berisi cara untuk datangkan bantuan itu.

Mereka menamsilkan bahwa kehidupan shahabat ibarat lautan yang mana jika orang akan berenang di dalamnya harus tanggalkan dulu pakaiannya dan diganti dengan baju renang. Ayat pembuka seolah pakaian yang bias menyelam dalam kehidupan mereka. Selama kita tidak tanggalkan pakaian kita hari ini dan diganti dengan pakaian para sahabat, maka selama itu kita tidak akan faham kehidupan para sahabat dalam memperjuangkan agama. Pakaian kita hari ini yakni saya seorang doktor, seorang guru, seorang ayah, seorang suami, harus kita tanggalkan seketika dan menggantinya dengan pakaian para sahabat yakni Syahid dan Bersiap-siap untuk Syahid.

Ada juga yang mengkritik dan bertanyakan mana dalil dakwah dengan cara keluar di jalan Allah ?? Mana dalilnya tinggalkan anak istri untuk dakwah ?? Mana dalilnya 4 bulan 40 hari? Sebenarnya kisah tersebut telah ada dalam kitab hayatusshahabah dengan sanad hadits yang jelas. Hanya orang yang tidak mahu mujahadah untuk meniru kehidupan shahabat tak akan faham dengan kehidupan mereka. Bagaimana mungkin orang akan faham agama dengan cara satu keadaan yang tak sama. Hanya mengkajinya di majlis taklim setelah itu pulang ke rumah bersuka-ria sama anak istri, menonton TV dll. Sementara para shahabat Nabi bermujahadah dalam terik matahari, kehausan, berhadapan dengan musuh, musim dingin, dsb. Sedangkan Al Quran turun kepada mereka dalam keadaan suasana yang berlainan bukan di majlis taklim. Surah At Taubah turun di musim panas, surat Al Ahzab di musim dingin dsb. Mustahil akan dapat memahami Al Quran tanpa mengambil pengorbanan mereka.

JEMAAH TABLIGH BUKAN ORGANISASI TETAPI DALAM KERJA DAKWAHNYA

TERORGANISIR. Di mulai dari penanggung jawab mereka untuk seluruh dunia yang dikenal dengan Ahli Syura di Nizamuddin, New Delhi, INDIA. Kemudian di bawahnya ada syura Negara, misalnya : Syura Malaysia, Indonesia, Amerika, dll. Kini hampir ada lebih dari 250 negara yang memiliki markaz seperti Masjid Sri Petaling dan Masjid Kebon Jeruk Jakarta. Kemudian ada orang tanggungjawab bagi negeri2 kemudian dipecahkan lagi orang tanggungfjawab bagi halqah2. Di bawah halaqah terdiri dari beberapa mahalah yakni masjid yang hidup amal dakwah dan masing-masing mereka ada tanggungjawab yang dipilih oleh musyawarah tempatan masing-masing. Di India ada masjid yang menjadi Muhallah sekaligus halaqah dimana di dalam masjid hidup 10 kelompok kerja (jemaah yang dihantar tiap bulan 3 hari). Semua permasalahan diputus dalam musyawarah sehingga tak ada perselisihan di antara mereka dan mereka punya sifat taat kepada hasil musyawarah. Walaupun mereka tak pernah katakan bentuk mereka kekhalifahan seperti harakah lain yang mempropagandakan Khilafatul Muslimin, tetapi system jemaah tabligh terlihat begitu rapi sehingga mereka saling kenal satu sama lain karena jumlah orang yang pernah keluar di jalan Allah tercatat dan terdaftar di markaz dunia. Setiap 4 bulan mereka berkumpul musyawarah Negara masing-masing kemuadian dibawa ke musyawarah dunia di Nizamuddin, India. Musyawarah harian ada di mahalah masing-masing untuk memikirkan orang kampung mereka masing-masing sehingga biarpun ada yang pergi tasykiil tetaplah ada orang di maqami yang garap dakwah di sana.

Yang jelas mereka telah amalkan ayat : “Hendaklah ada di antara kamu umat (Ibnu Abbas mengartikan jemaah) yang mengajak kepada kebaikan, memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang yang mendapat kejayaan.” (QS Ali Imran) 

“Kejayaan Manusia Hanya Dalam Agama. Sejauh Mana Dapat Taat Perintah Allah Dan Hidup Ikut Cara Nabi SAW” Insya Allah.

Source: http://blogkarkun.blogspot.com/

Kekuatan Pikiran Manusia

Dengan izin Allah Sang Maha Pencipta pikiran manusia itu sangat dahsyat. Jika manusia berfkir bagaimana besi yang berat bisa terbang seperti burung, bagaimana besi yang berat bisa mengapung di air. Maka manusia dengan pikirannya membuat kapal terbang dan kapal laut. manusia berfikir agar bisa bepergian ke seluruh dunia dengan cepat dan dapat menyingkat waktu perjalanan di dunia ini.

Demikian juga sekarang manusia berfikir bagaimana kita bisa mengetahui berita disuatu daerah atau dibelahan dunia ini tanpa meninggalkan tempat duduknya dirumah, maka dibuatlah internet dan alat komunikasi lainnya. Itulah dahsyatnya kekuatan pikiran manusia.

Tapi adakah manusia yang berpikir bagaimana supaya manusia ini semua bisa selamat dari azab neraka, bagaimana supaya manusia seluruh dunia ini bisa masuk ke Surga bagaimana supaya manusia di dunia ini bahagia hidupnya di akherat. Adakah manusia yang menggunakan pikirannya untuk memikirkan agar manusia semua taat pada Allah dan RasulNya.

Sesuatu akan maju jika manusia memikirkan hal itu. Seperti contoh diatas manusia maju dalam kendaraan karena manusia berfikir untuk memudahkan berpergian, manusia maju dalam telekomunikasi karena selalu berfikir bagaimana terhubung dengan orang yang jauh tanpa bepergian.

Dunia ini maju karena hampir seluruh manusia memikirkan dunia ini.

Agama Islam ini juga akan maju jika kita berfikir untuk memajukannya, kita berfikir bagaimana cara memperjuangkannya dan kita berfikir bagaimana cara mendakwahkannya.

Islam maju bisa menguasai 2/3 dunia saat para sahabat semua yang berjumlah lebh kurang 124.000 para sahabat nabi semuanya memikirkan kemajuan Islam secara bersungguh-sungguh.

Marilah dari sekarang ubah pola fikir kita dengan memikirkan kemajuan Islam, ikuti contoh Rasulullah dan para sahabatnya bagaimana cara memajukan Islam dan Umatnya. Kita hanya tinggal memikirkan dan memanamkan dalam fikiran kita bagaimana agar semua manusia di dunia ini bisa mengucapkan kalimat Laa illaha ilallah Muhammadur rasulullah… kemudian baru kita bergerak mencontohi Rasulullah dan para sahabatnya dalam mendakwahkan Islam keseluruh penjuru dunia.

Wallahu ‘alam bi showab.

Mitradakwah.com Berdakwah dan Berusaha Melalui Internet

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan taufiqNya kepada kita semua.

Para netter,blogger dan para pengunjung blog ini yang dirahmati Allah SWT, izinkan saya memperkenalkan dan sekaligus mengajak anda semua untuk berdakwah dan berusaha untuk kebahagiaan di dunia dan akherat melalui dunia internet.

Banyak cara kita untuk berdakwah dan menyebarkan kebaikan baik melalui media langsung dari pintu ke pintu, melalui crmah,tulisan media massa dan juga internet. Banyak sekarang para ustadz dan da’i menyebarkan dakwah melalui internet dengan membuat website, blog dan forum di dunia maya atau internet.

Tak ada salah dan larangannya jika semua itu bertujuan baik yaitu untuk mengajak manusia berbuat baik dan mencegah berbuat munkar (amar ma’ruf nahi munkar).

Demikian juga dengan MITRADAKWAH.COM mengajak kita untuk menjadi mitra dalam berdakwah. Selain itu juga berusaha melakukan tijaroh atau perniagaan sehingga tercapailah tujuan hidup kita di dunia yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat.

MITRADAKWAH.COM adalah situs yang mengajak para netter bisa berdakwah dan sekaligus mendapatkan manfaat mendapatkan tambahan rejeki dari Allah SWT.

Apa manfaat menjadi mitra di MITRADAKWAH.COM?

Saat anda bergabung menjadi mitra dakwah, maka secara otomatis anda akan mendapatkan tausiyah dan email – email renungan penyejuk kalbu dan motivasi kerohanian setiap hari.

Setelah anda menjadi mitra anda bisa mengajak saudara dan rekan anda yang lain untuk bergabung melalui anda, sehingga mereka juga mendapat nasehat dan tausiyah yang berguna bagi mereka.

Hal itu akan menjadi amal ibadah kita untuk kebahagiaan di akherat.
Sedangkan usaha di dunia kita bisa melakukan tijaroh (perniagaan)’

(Read more….)

Kumpulan Artikel http://Infotekkom.wordpress.com

Dakwah Setan


Inilah ciri-ciri dakwahnya setan:
1. Berdakwah dengan keyakinan yang sempurna.
2. Nishab dakwahnya 11 bulan dalam satu tahun.

Mereka tidak berdakwah pada bulan Ramadhan. Mereka tidak berdakwah di bulan ini bukan karena keinginan mereka, tetapi dilarang oleh Allah SWT.
3. Satu hati.

Sesama dai kemungkaran tidak ada perpecahan, permusuhan, saling cela-mencela. Mereka bersatu pada agar tujuan mereka tercapai.
4. Berpengalaman dalam berdakwah.

Mursyid dakwah mereka adalah Iblis. Iblis yang berpengalaman menggelincirkan Nabi Adam as. Iblis yang belajar langsung kepada Allah, bagaimana caranya menggoda manusia. Hanya hamba-hamba Allah yang IKHLASH saja yang tidak bisa digoda oleh Iblis dan semua turunannya.
5. Dakwahnya menjadi maksud hidup bukan sambilan dan bukan sarana untuk mencari harta.
Sumber: http://imanyakin.wordpress.com/2010/02/02/kelebihan-dakwah-syaitan/>

Blog yang Bikin Warga PKS ‘Murka’ Akhirnya Ditutup

Mungkin berita ini menjadi berita baik bagi para kader PKS yang selama ini tidak terima partai tercintanya selalu menjadi bahan kritikan pedas oleh sebuah blog. Blog PKS Watch akhirnya oleh sang pemilik secara resmi ditutup.

Bukan tidak ada alasan akhirnya pemilik blog PKS Watch yang beralamat di pkswatch.blogspot.com akhirnya memilih untuk menutup secara resmi blog yang sudah di’asuh’nya hampir 5 tahun ini.

DOS sang pemilik blog dalam postingan terakhirnya tertanggal 21 Juni 2010, memberikan penjelasan panjang lebar alasan dirinya akhirnya memutuskan untuk menutup secara resmi blog yang khusus mengkritisi sepak terjang PKS.

Namun sebelum memberikan penjelasan alasan menutup blog yang telah banyak membuat warga PKS murka ini, DOS mencoba memflash back ketika ia pertama kali membuat blog PKS Watch yang oleh mayoritas warga PKS dianggap sebagai blog berisi fitnah dan sampah ini.

DOS menceritakan alasan pertama kali dirinya memulai mengasuh blog ini, bahwa apa yang ia lakukan dengan mengkritisi PKS semata-mata didasari oleh sebuah keprihatinan atas sepak terjang gerakan dakwah yang ia cintai, yang ia lihat dan anggap mulai keluar dari rel yang seharusnya.

Diakui oleh DOS, sewaktu dirinya merintis blog kritis ini, banyak hujatan yang ia terima terutama dari kalangan warga PKS yang menganggap apa yang ditulis olehnya hanyalah fitnah belaka dan tujuannya tidak lain hanya untuk memecah belah PKS dan menggemboskan suara PKS dalam Pemilu.

Akan tetapi sebenarnya apa-apa yang DOS tuangkan dalam blognya tersebut merupakan sesuatu yang menjadi keprihatinan banyak orang yang berharap banyak terhadap gerakan dakwah yang merupakan perpanjangan tangan gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin Mesir yang bermetamorfosa menjadi partai politik ini.

Tidak sedikit simpatisan PKS bahkan kader PKS sendiri menjadi tercerahkan akan adanya blog PKS Watch. Meski diawal-awal membacanya kuping terasa panas dan dada terasa nyesek. Dan apa yang ditulis dan diulas oleh DOS memang sebagian besar adalah fakta, yang sudah beredar secara luas di media. Jadi bukan sesuatu yang ‘rahasia’.

Alasan Menutup Blog

DOS juga mengakui dari pertama kali ia membuat blog ini, telah banyak yang meminta dirinya untuk segera menghentikan usahanya tersebut. Namun DOS dengan tegas menyatakan bahwa ada beberapa alasan yang bisa membuat ia menghentikan blog kritisnya itu.

* Pertama, PKS kembali lurus minimal seperti di masa awal-awal pendirian PK, atau
* Kedua, PKS sudah rusak parah, atau sudah bukan menjadi partai Islam lagi.

Dan menurutnya point kedua dari alasan untuk menutup blog – yang telah memuat ratusan artikel dan ribuan komentar ini – untuk saat ini telah terpenuhi, persis setelah munas kedua PKS yang berlangsung di hotel super mewah Ritz Carlton berakhir.

Poin-poin hasil keputusan munas PKS yang secara resmi menjadikan PKS sebagai partai terbuka bagi semua – yang dulu idenya gagal diloloskan dalam mukernas Bali beberapa tahun yang lalu – dianggap oleh sebagian kalangan dan khusunya DOS, sebagai entri poin bahwa PKS bukanlah seperti yang dahulu lagi.

Dan inilah saatnya untuk melupakan PKS dari hati dan pikiran, Selamat Tinggal PKS, tegas DOS dalam paragraf terakhir ‘bayanatnya’ tentang alasan ia menutup blog PKS Watch.(fq)

Sumber: www.eramuslim.com

Inilah Surat Terbuka Untuk SBY & Mentri2

lowonganseluruhcpnsdaerahse indonesia1

Assalamualaikum Wr. Wb.
Yth Bapak Presiden Republik Indonesia
Saya adalah seorang bocah laki-laki berumur 10 th, saya mempunyai kakak perempuan berusia 12 th dan adik berusia 5 th.
Kini kami bertiga telah yatim piatu dan sekarang sudah tidak bersekolah lagi, keadaan yang memaksa kami untuk hidup dijalanan, saya berdagang koran, kakak dan adik saya menjadi pengemis dan pengamen jalanan. Bermula dari Lumpur itu
Dahulu sebelum bencana itu datang, keluarga kami masih mempunyai kehidupan normal, meski kami hanya hidup dalam rumah kecil dengan sedikit perabotan seadanya. Ayah seorang anak tunggal bekerja sebagai buruh, kemudian berhenti dan berwiraswasta membuka warung kelontong didepan rumah, sedangkan Ibu bekerja sebagai TKW di Timur tengah dan selalu mengirimkan uang tiap bulan kepada keluarga kami. Kematian Ibu
Enam bulan sebelum lumpur itu menghancurkan rumah kami, musibah terjadi menimpa ibu, Ia hampir diperkosa majikannya tetapi berhasil kabur keluar rumah setelah menusuk majikan nya itu dengan sebuah pisau buah. Tetapi keluarga majikan malah memfitnah ibu dengan fitnah keji, ibu dituduh merayu dan membunuh majikan. Ketika Ibu ditangkap dan didakwa dengan hukuman gantung, Ibu sangat syok, tiada yang membelanya karena semua bukti direkayasa. Pemerintah dalam hal ini KBRI tidak bisa memberikan pertolongan apa-apa, kecuali hanya sekedar simpati. Disana ibu berjuang sendiri, tidak ada yang perduli dengan dirinya yang hanya sebagai korban, dan pertolongan pemerintah sebagai tempat terakhir seakan-akan seperti pungguk merindukan bulan. Para petinggi itu seakan tidak peduli akan nasib ibu, tidak ada usaha untuk membuktikan bahwa ibu difitnah oleh majikannya. Dalam masa penahanannya, ibu mengirim surat-suratnya kepada kami, surat-surat yang membuat kami menangis setiap hari, membuat bapak selalu pingsan dan membuat si bungsu dan kakak perempuanku merintih setiap malam. Hanya aku sebagai anak lelaki yang paling besar yang berusaha tabah dan menyabarkan keluargaku. Hari-hari ceria berubah menjadi kelam, canda tawa kami seketika menghilang dalam gelapnya episode yang akan kami lalui nanti. Sampai suatu ketika dalam surat terakhirnya, ibu menyuruh bapak untuk tabah dan kuat untuk melanjutkan kehidupan keluarga kami, ia memilih jalan yang terhormat ketimbang mati dalam kondisi difitnah. Dua hari setelah itu, kami mendengar ibu tewas bunuh diri didalam penjara. Ternyata jalan terhormat itu yang dimaksud ibu dalam surat terakhirnya adalah gantung diri.
Setelah kematian Ibu, kehidupan berjalan normal kembali dan bapak melaksanakan janjinya, ia tidak terlihat cengeng, bahkan lebih tegar, terbukti dengan niatnya berwiraswasta dengan membuka warung kelontong yang cukup ramai, bahkan bapak nekad meminjam uang untuk menambah modal usahanya. Ia katakan kepadaku kalau ingin besar harus berani mengambil resiko besar pula. Bencana itu
Roda kehidupan berjalan bagai pedati menarik jerami, ia berputar kadang diatas dan kadang dibawah.
Belum lama kami berhasil tersenyum kembali sejak kematian ibu, bencana yang lebih besar datang, kampung halaman kami terendam lumpur yang berasal dari pipa pengeboran perusahaan swasta.Lumpur itu melululantahkan rumah-rumah kami dan terpaksa kami menjadi pengungsi dikampung halaman sendiri. Rumah kami, sekolah kami, surau kami kini hilang ditelan bumi, memang katanya ada penggantian dari perusahaan itu, tapi ternyata penggantian itu hanya berlaku untuk rumah-rumah yang terdaftar di lembaga penanggulangan lumpur milik pemerintah dengan mengajukan surat-surat tanah, sedang rumah kami, rumah kecil warisan dari kakek kami, yang hanya terletak diujung jalan tidak pernah dihitung oleh mereka. Kami berusaha melaporkan kepada Pak RT, tetapi Pak RT sendiri kami tak tahu dimana rimbanya, beliau sudah pergi entah kemana karena rumahnya pun telah hilang. Ayah kami yang lugu tak tahu harus meminta tolong kepada siapa, dan ia bingung harus melakukan apa, bahkan ia sering berteriak-teriak seperti orang gila karena tak sanggup menahan beban derita yang berkepanjangan karena ganti rugi tak jua dibayar-bayar. Sampai pada suatu ketika, ia menyuruh kami untuk ke Jakarta meneruskan sisa-sisa hidup kami untuk menumpang kepada seorang kerabat ibu disana. Dibekali secarik kertas alamat dan sedikit uang kami bertiga pergi ke jakarta menumpang bus malam diantar tetangga kami.
Sesampai di Jakarta, kami tak tahu harus kemana, kami pun tidak mengerti mengapa ayah menyuruh kami pergi ke kota besar ini, selain ia hanya bilang bahwa kita lebih baik tinggal bersama kerabat ibu yang tinggal disini. Ayah akan berjuang mendapatkan haknya untuk menuntut penggantian uang gantirugi atas rumah kami, begitu katanya sambil tertawa terbahak-bahak sambil menangis. Terakhir, kata tetangga kami ayah kami harus meninggal
karena gantung diri sebab tak kuat lagi untuk menahan berat hidup.
Di jakarta, kami luntang-lantung tak tahu harus kemana, sampai akhirnya kami dirazia oleh satpol PP karena disangka kami pengemis dan gelandangan. Dan memang saat itu, tanpa sadar bahwa kami memang telah menjadi gelandangan. Kami tak punya siapa-siapa di kota besar ini, rumah tempat tinggal kami dipaksa untuk hilang dari muka bumi, sekolah kami dan masa depan kami dirampas dengan paksa oleh orang-orang itu yang entah siapa mereka dan apa kesalahan kami. Yang kami tahu kami dan teman-teman kami tercerai berai oleh bencana itu, bencana yang oleh Bapak Presiden dibilang sebagai “Musibah” sedang bagi kami tetaplah sebagai bencana.
Selepas dari pemeriksaan satpol PP, kami ditolong oleh seorang tua penjual koran yang juga tertangkap oleh petugas itu. Ia membawa kami untuk tinggal digubuknya yang sempit seraya berjanji untuk mencari alamat kerabat ibu kami. Digubuk yang terletak disamping rel itu, kami meneruskan sisa-sisa nafas kami, kami tinggalkan masa kanak-kanak kami dengan berjuang untuk bertahan hidup. Saat anak-anak yang lain bercengkerama dengan teman sekolahnya, adik kami yang seharusnya duduk dibangku TK, terpaksa berlari-lari dijalanan untuk mengemis dari satu kendaraan ke kendaraan lain tak peduli kaki mungilnya menghitam dan rambut kritingnya memerah karena sengatan matahari. Setiap ada kendaraan yg lewat dan berhenti, tangan kecilnya tak lupa untuk menengadah berharap ada pengendara yang berbaik hati memberikan sedekahnya. Sedangkan aku, berdiri dan berlari-lari diperempatan jalan sambil meneriakan koran yang aku jajakan sejak subuh tadi, semoga ada pembeli yang mau membaca koranku pagi ini. Dan kakakku, karena ia memiliki suara merdu, ia menjadi pengamen jalanan dengan sebuah kericikan ditangan. Ia yang seharusnya duduk di bangku SMP dengan kecerdasan yang dimilikinya, seharusnya bisa merenda masa depan yang lebih baik. Semua pekerjaan itu kami lakukan dengan terpaksa, dari pagi hingga malam demi menyambung hari esok, demi menggapai impian-impian anak-anak kecil seperti kami. Bapak Presiden yang saya hormati.
Karena seringnya membaca koran, kini aku menjadi tahu tentang siapa dirimu, dan apa saja yang bisa engkau lakukan dengan kekuatan hebat yang engkau miliki. Karena sering membaca koran itu juga aku bisa menulis surat ini untuk mu, Ternyata engkaulah orang yang selama ini aku cari-cari. Engkaulah orang yang bisa merubah nasib kami dengan sekali perintah saja, orang yang memiliki kesanggupan untuk merubah dunia ditangannya. Orang yang bisa merubah nasib Ibuku jika saat itu ia mau tahu dan membantu dengan bantuan hukum, orang yang bisa mengembalikan rumah kami yang hilang terendam lumpur, orang yang bisa menyembuhkan sakit gila ayahku, orang yang bisa menyekolahkan si bungsu adikku, juga aku dan kakakku, orang yang bisa menampung anak-anak seperti kami dalam rumah yg nyaman, orang yang bisa membuat cerah masa depan kami dan ribuan anak-anak jalanan lainnya yang terjebak dalam kondisi ini bukan karena inilah nasib mereka, tetapi karena dipaksa oleh orang dewasa yang tidak berprikemanusiaan. Bapak Presiden, yang aku kagumi,
Pagi ini setelah melihat berita engkau dilantik, aku ingin engkau menggunakan kekuatan hebatmu untuk membantu kami menemukan kembali kebahagiaan kami yang hilang. Mengembalikan keceriaan sibungsu, memuluskan kembali jari-jari tangannya yang terbakar aspal dan memutihkan kembali mukanya yang tertutup debu jalanan. Juga mengembalikan tawa riang kakak kami yang menghilang sejak ayah sakit jiwa dan menyegarkan kembali wajahnya yang cantik dengan untaian senyumnya seperti beberapa tahun lalu. Juga membantuku mewujudkan cita-cita Ibu dan harapan ayah pada diriku untuk menjadi orang yang berguna bagi sesama. Engkau Juga adalah orang yang bisa melindungi anak-anak seperti kami yang terpaksa mencari nafkah dijalanan, dari jeratan undang-undang ketertiban milik pemda yang senantiasa bisa menjerat kami kedalam penjara. Bapak Presiden yang aku hormati,
Jika engkau tidak bisa menggunakan kekuatan hebatmu untuk kami, tidak mengapa, aku tidak akan marah, begitu juga adik dan kakak ku. Kami terbiasa tidak meminta kepada orang lain, kami terbiasa tidak menggantungkan hidup kepada manusia lain. Keluarga kami terbiasa hidup keras dan tidak lemah. Satu-satunya tempat bergantung kami hanyalah Allah, Tuhan pemilik dunia ini, itulah yang sering almarhum ibu sampaikan kepada kami, untuk menghibur diri kami saat kami jauh darinya.
Jika engkau sulit untuk mewujudkan harapan kami, juga harapan ribuan anak jalanan lainnya, juga harapan jutaan kaum yang senasib dengan kami, kami hanya meminta kepada engkau untuk mengaminkan doa kami saja, semoga kami bisa menggantikan posisi engkau ketika kami dewasa nanti. Karena kami ingin menolong orang yang bernasib seperti ibu kami, kami ingin menolong orang yang senasib dengan keluarga kami, juga keluarga-keluarga lainnya yang kurang beruntung hidup dinegeri
ini.
Sampaikan salam kami untuk para pembantu engkau, agar beliau juga mengamini doa kami, agar kami dapat menggantikan posisi mereka kelak jika kami besar. Agar Si bungsu kelak akan tercapai cita-citanya menjadi orang yg menyayangi orang lain dengan sepenuh hati seperti sayangnya pak tua penjual koran itu kepada kami, setiap pagi ketika hidup mulai bergulir kembali. Bapak Presiden yang kami hormati, semoga engkau membaca surat kami. Wassalamualaikum Wr.Wb.
Dari anak negeri yg terhempas di jalanan karena nasib yang kurang beruntung.
20 Oktober 2009, Tengah malam bertepatan dengan pelantikan Presiden/Wakil Presiden.

Dakwah

DA’I muda itu tercenung beberapa saat. Akhirnya ia mengangguk tidak terlalu kentara sambil berucap perlahan. “Baiklah, insya Allah saya bisa melakukannya untuk kesempatan mendatang.” Beberapa pengurus masjid duduk bersila di sekitarnya. Mereka menyambut jawaban sang da’i dengan wajah puas.

Pertemuan itu usai. Setelah berjabat tangan dengan beberapa orang, da’i muda itu bangkit dari duduknya sambil mengucap salam meninggalkan ruang rapat pengurus masjid. Langkahnya ringan, sikapnya pasti. Tapi, sungguh keadaan batinnya saat itu tidak seringan dan seoptimis penampilannya. Seolah ada yang membebaninya hingga langkah-langkah kakinya menuju rumah menjadi berat dan kaku. “Inilah kehidupan da’i,” pikirnya berusaha menghibur diri sambil terus berjalan menuju halte pemberhentian mikrolet. Jama’ah dan orang lain tidak banyak tahu bahwa di balik penampilan yang meyakinkan lewat khotbah dan ceramah-ceramahnya. Seorang da’i masih tetap merupakan manusia biasa. Ia tetap memiliki masalah-masalah dalam hidupnya. Seperti yang dialaminya kini.

Sebenarnya, telah beberapa kali ia diminta untuk memberi ceramah tentang hijab oleh beberapa pengurus masjid Namun, selama itu pula ia menolak dengan halus. Masalah hijab dan jilbab merupakan materi da’wah yang terasa amat berat baginya. Ia merasa belum sanggup untuk melaksanakannya.

Masalahnya, bukan lantaran ia kurang menguasai materinya. Bukan … bukan itu. Walaupun boleh dibilang ia mengetahuinya belum terlalu lama, namun dalil-dalil dan nash-nash tentang hijab dari al-Qur’an dan hadits sudah termemori dengan baik dalam ingatannya. Lagi pula masalah itulah yang selama ini senantiasa menjadi bahan pikirannya. Ia tak perlu lagi membuka catatan-catatan kecilnya yang selalu terselip di saku kemejanya untuk mem-bacakan sural al-Ahzab 59, atau sural an-Nur 31, atau hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang kewajiban setiap muslimah untuk mengenakan jilbab. Semua itu ia hafal dan kuasai. Namun, masalahnya lebih gawat dari itu. Bagaimana tidak? Coba bayangkan, ia harus berceramah tentang kewajiban jilbab bagi setiap muslimah Sementara isterinya sendiri sampai kini belum berjilbab Pengurus masud itu belum tahu keadaan sebenarnya. Bagaimana ia dapat menyampaikan ayat-ayat Allah dengan baik kepada jamaah, sedangkan ia sendiri belum sanggup untuk melakukan apa yang disampaikannya.

Mikrolet yang ditunggu-tunggu belum muncul juga. Ada memang dua yang sudah lewat, namun sudah terlalu banyak manusia berjejal di dalamnya. Ia tak bergairah untuk saling berebut. Menunggu angkutan pada jam-jam selepas kantor seperti ini memang bukan suatu pekerjaan ringan dan menyenangkan. Itu sudah jamak di mana-mana di setiap pelosok Jakarta. Dalam saat-saat seperti ini, ia teringat kembali nasib scooternya yang terpaksa dijual kira-kira sebulan yang lain. “Seandainya scooter itu masih ada, tentu tak perlu hampir setiap sore menunggu angkutan seperti ini,” pikirnya mulai berandai-andai.

Namun, cepat ia menepis pikiran itu. Tak ada pilihan, scooter itu memang harus dijual untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya yang lebih mendesak. Masalah keuangan memang selalu menjadi problem sejak beberapa bulan terakhir ini. Honornya sebagai seorang penceramah tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan rumah tangganya sampai akhir bulan. Apalagi semenjak usaha sampingannya berjualan kain batik dan bahan tekstil tersendat-sendat akhir-akhir ini. Ia menerima ini sebagai konsekuensi pilihan yang memang sudah diperhitungkan sejak mula. Dulu, ia sempat bekerja pada perusahaan swasta yang cukup besar. Posisinya lumayan. Gajinya memadai. Karirnya cukup menjanjikan. Pada akhirnya ia harus keluar. Ia merasa, di situ bukan tempat yang cocok baginya. Banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan hati nuraninya.

Isterinya pun semula bekerja di swasta. Namun, semenjak da’i muda itu belajar tentang Islam secara serius barulah ia mengetahui bahwa fitrah seorang isteri adalah di rumah. Ia kemudian meminta isterinya agar keluar dari pekerjaannya. Bukan perkara mudah baginya untuk membujuk dan memberi pengertian pada isterinya. Semula, isterinya dengan tegas menolak. Wataknya memang keras. Tiga bulan adalah wakru yang ia gunakan untuk membujuk isterinya secara terus menerus hingga akhirnya sang isteri pun mau mengalah. Alhamdulillah. Langkah pertama sukses. Tapi, langkah-langkah berikutnya masih tanda tanya besar. Entah berapa lama ia butuh waktu untuk meluluhkan hati isterinya tentang soal jilbab.

Namun, da’i muda itu sadar. Ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan isterinya. Dirinya pun punya andil atas sikap keras isterinya. Awalnya memang telah keliru. Ia menikahi isterinya dalam keadaan tidak berjilbab. Kalau sekarang ia gencar menyuruh isterinya berjilbab, tentu isterinya akan berkeras pula menggugat sikap awal ketika hendak menikahinya dulu. Dulu kok, mau?! Nah lho, apa tidak mati kutu. Seandainya sejak pertama ia pagi-pagi sudah mewajibkan isterinya berjilbab, tentu masalahnya akan lain.

Ia memang terlambat mengetahui tentang hukum jilbab. Sesungguhnya dulu ketika masih di kampung, ia pun pernah membaca ayat-ayat tentang jilbab. Namun, ia tak pernah mengkajinya secara mendalam, hingga lewat begitu saja dalam ingatannya. Ia dibesarkan di lingkungan santri di sebuah kota kecamatan kecil yang termasuk wilayah Kabupaten Pekalongan. Sebagaimana umumnya pemuda-pemuda desa, pertama kali ia menginjakkan kakinya di rantau, saat ia mengira dirinya telah banyak memiliki bekal ilmu agama. Namun, kesadaran baru menyergapnya ketika ia mulai tertarik untuk belajar Islam secara intensif dan sungguh-sungguh. Ternyata, banyak hal yang selama ini dilakukannya dan dianggapnya benar, ternyata keliru menurut nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Tradisi-tradisi ritual yang berkembang di tengah masyarakat banyak yang mengatasnamakan Islam. Namun, sesungguhnya itu semua jauh dan nilai-nilai Islam, hingga menimbulkan kerancuan yang mengundang kesalahpahaman tentang Islam. Ia dulu juga melakukan hal-hal seperti yang banyak dilakukan orang pacaran, nonton, mendengar musik, merokok, dan lainnya. Karena sudah umum dilakukan orang, ia menyangka bahwa hal-hal semacam itu memang tak dilarang oleh Islam

Suara klakson mengejutkannya. Itu dia ada mikrolet kosong. Cepat ia beranjak menyongsongnya. Ia duduk di pojok. Tak ada pilihan lain. Di sebelahnya seorang wanita muda, barangkali wanita karier. Di depannya juga. Da’i muda itu melepas pecinya, digunakan untuk mengusir gerah dan bau aneka rupa keringat dan aroma parfum wanita di sebelahnya. Dalam hati hati ia mengucap syukur bahwa isterinya setiap sore tak lagi harus turut berdesak-desakan dalam mikrolet dan bis kota sehabis pulang kerja seperti perempuan di sebelahnya ini. Ingatannya berkelana mengenang isterinya dan pertengkaran-pertengkaran di antara mereka yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Masih melekat perdebatannya pagi tadi sebelum ia pergi: “Apa sampeyan tidak merasa, jeng … bahwa sesungguhnva Allah itu telah menyindir orang-orang seperti kita ini lewat firman-Nya: “Apakah kalian beriman pada sebagian isi kitab-Ku, sedangkan sebagian lainnya kalian menging-karinya?” Itulah kita saat ini.”

Dengan menarik nafas panjang istrinya menjawab dengan nada keras dan kesal. “Kenapa sih baru Mas ributkan masalah ini sekarang? Tiap hari itu-itu saja yang diungkit-ungkit. Aku bosan bertengkar terus, kenapa tidak dari dulu-dulu, sebelum kita kawin misalnya …”

Da’i muda itu lain menjangkau telapak tangan isterinya, berusaha meredakan emosi isterinya. Nada suaranya yang semula sempat terpancing meninggi, kini kembali melunak.

“Dulu ‘kan aku belum tahu hukumnya. Nah, sekarang aku sudah tahu, maka aku wajib memberitahukanmu, Jeng. Cobalah renungkan, aku ini seorang da’i. Setiap tingkah lakuku seyogyanya kan harusmencerminkan setiap ucapan-ucapanku di mimbar. Nah bagaimana aku bisa berkhotbah dengan baik tentang jilbab kalau isteriku sendiri tidak berjilbab.”

“Setiap kali keuar rumah ‘kan aku selalu mengenakan kerudung selendang Mas,” protes isterinya.

“Selendang belum menutup auratmu dengan sempurna. Rambutmu masih keluar-keluar, lehermu masih kelihatan, anting-antingmu juga, bentuk dadamu belum tertutup sempuma.”

Dalam keadaan demikian biasanya sikap keras hati isterinya akan menonjol. Da’i muda itu sudah hafal betul, karenanya ia tidak terlalu surprise ketika isterinya menyanggah, masih dengan nada protes:

“‘Tapi bukankah banyak para ustadzah dan juru da’wah wanita yang hanya melilitkan selendang di kepalanya saat mereka memberikan ceramah agama pada para jama’ah?”

“Itu memang kenyataan yang ada di tengah masyarakat. Tapi harus diingat, walaupun mereka itu da’iyah atau ustadzah yang luas ilmu agamanya. tapi tidak tertutup kemungkinan mereka untuk keliru, justru di bidang yang digelutinya sehari-hari. Untuk tingkatan mereka seharusnya mereka sudah tahu hukumnya. Entahlah, apa sebabnya sebagian mereka belum bisa melaksanakannya. Yang penting kita perbaiki diri kita dulu. Sesuatu yang keliru tak perlu kita jadikan contoh. Yang jadi pedoman kita hanya al-Qur’an dan Hadits”

“Tapi terus terang, Mas, aku belum siap untuk mengenakan jilbab. Apa nanti kata orang dan saudara-saudara melihat aku pakai jilbab panjang dan jubah lebar, nanti pasti dibilang ekstrimlah, fanatiklah, atau sebutan-sebutan tak enak lainnya.”

“Begini Jeng, setiab perempuan itu sudah siap untuk mengenakan jilbab begitu ia menginjak usia akil baligh. Itu sudah fitrah. Kita saja yang suka mengingkarinya. Coba pikirkan, setiap muslimah setiap kali shalat ia harus mengenakan kerudung yang menutup seluruh auramya kecuali raut muka dan telapak tangan. Seperti itulah seharusnya penampilan muslimah di luar rumah, artinya menutup seluruh auratnya. Itu yang disebut fitrah. Jadi, bukan seperti keadaan yang banyak dilakukan para muslimah sekarang; mengenakan kerudung di saat shalat, memamerkan aurat setelahnya.”

Sang isteri menarik tangannya cepat dari genggaman suaminya. Marah betul agaknya ia.

“Kau ini memang pandai betul bicara, Mas!” katanya ketus sambil bcrdiri menjajakan kemarahannya. Wah, gawat nih.

“Pokoknya aku sudah bosan dengan tuntutan-tuntutanmu itu. Kau menuntutku terlalu banyak, Mas. Selama ini aku sudah berusaha untuk sabar dan selalu mengalah, namun bukannya engkau mengerti, malah semakin menekan dan menuntutku.”

Da’i muda itu tak menjawab. Ia hanya memandang redup isterinya dengan kegalauan yang bertimbunan. Sementara air mata isterinya mulai bercucuran, namun tetap melanjutkan melampiaskan perasannya yang terpendam selama ini.

“Sikap-sikapmu bukan hanya sering menyakiti hatiku, tapi juga sering membikinku malu. Tahukah Mas, bahwa kita ini jadi bahan pergunjingan di antara tetangga dan saudara-saudaraku yang lain. Jeng… suaminya itu ikut aliran apa sih? Begitu sering tanya mereka kepadaku Aku yang risih, Mas? Tidak mau salaman dengan perempuanlah, tidak mau ikut ngobrollah, tidak mau ini, tidak mau itu, dan banyak lagi sikap-sikapmu di mata orang ganjil dan tidak umum. Mas. aku ini juga banyak kenal dengan isteri-isteri yang bersuamikan da’i. Tapi, menurutku mereka biasa-biasa saja, tidak neko-neko, tidak aneh-aneh, tidak memaksa isterinya berjilbab, tidak melarang isterinya bekerja kantoran, bergaul biasa. Coba, kurang taat apalagi aku padamu? Ketika engkau memintaku berhenti bekerja, aku menurut. Dan apa hasilnya kini? Ekonomi kita malah tidak karu-karuan, sementara engkau hanya sibuk dengan duniamu sendiri Alhamdulillah aku masih punya sedikit tabungan, kalau tidak… entah apa jadinya rumah tangga kita ini….”

Ia hanya bisa mendesah pendek. Setiap kali berdebat dan kemudian berujung pada satu hal itu, maka hilang sudah seleranya untuk bicara lebih lanjut. Pertengkaran-pertengkarannya selama ini hampir selalu bermuara di situ.

“Prapatan ada turun…?” seru sopir mikrolet membuyarkan lamunannya.

“Ya, ya,.. depan kiri!”

***

Tantangan da’wah memang beraneka rupa bentuknya. Namun terasa lebih berat justru tantangan yang berasal dari diri dan keluarga sendiri. Dan itu tengah dialaminya kini. Selama ini menurut pengamatannya, da’wah tentang masalah hijab dan jilbab jarang sekali disampaikan oleh para ulama dalam ceramah dan khotbah mereka. Kalaupun ada, itu hanya dalam lingkungan terbatas dan umumnya dilakukan justru oleh da’i-da’i berusia muda. Sementara ulama-ulama senior yang ilmu fiqh dan agamanya tak perlu lagi diragukan, kebanyakan justru mengambil tema-tema da’wah yang sudah umum sifatnya, yang sudah biasa di-dengar ummat. Akibatnya, masalah hijab dan jilbab seperti suatu lahan yang tidak tergarap, tersisih dan luput dari per-hatian. Sementara di tengah ummat sudah banyak terdapat ghazwul fikri dari berbagai penjuru yang justru menyudutkan perintah hijab dan jilbab. Ummat menjadi asing dengan persoalan itu, atau sengaja diasingkan. Pengetahuan ummat serba gelap, meraba-raba sehingga cenderung menilainya dengan sikap bermusuhan dan prasangka buruk. Ini menjadi kewajiban ulama atau setidaknya mereka yang telah tahu untuk meluruskannya. Kalau selama ini belum banyak ulama yang mengangkat bidang ini, mungkin disebabkan karena mereka memiliki persoalan yang sama seperti yang tengah dihadapinya saat ini. Itulah antara lain yang memotivasinya mengapa ia tetap ngotot berusaha memberikan pengertian tentang kewajiban berjilbab pada isterinya, sebelum ia benar-benar terjun memasuki lahan yang belum banyak tergarap ini. Kalau perlu. ambil itu sebagai spesialisasi. Dokter saja punya spesialisasi, da’i pun bisa. Karenanya, ia sempat marah dan kecewa besar ketika beberapa hari yang lalu isterinya pernah menyarankan hal yang seolah menyepelekan tekadnya.

“Mas tokh bisa mencari materi khotbah yang lain,” begitu kata isterinya. Kontan, ia meradang. Isterinya seolah takjub melihatnya.

Waktu semakin mepet. Tiga hari lagi. Dan belum ada tanda-tanda yang menunjukkan tentang perubahan sikap isterinya. Kegelisahannya memuncak. Maka, sore itu ter-jadilah adegan ulang untuk yang kesekian kalinya. Ia ajak isterinya untuk membicarakan masalah satu itu. Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya, isterinya telah memotongnya dengan sengit bersama kemarahannya yang memuncak.

“Itu lagi! itu lagi! Hanya itu yang ada dipikiranmu, Mas! Pernahkah engkau ikut memikirkan tentang sewa rumah kita yang akan habis bulan depan… atau hutang kita yang belum terbayar di warung sebelah, atau uang listrik yang terpakai untuk menutupi uang belanja?!! Kau tak pernah memikirkan semua itu. Kau sibuk sendiri dengan idealis-memu. Aku malu, Mas, malu…. tiap akhir minggu harus hutang pada bapak dan ibu hanya untuk mengasapi dapur kita. Sudah, aku tak mau lagi mendengar engkau menyinggung tentang soal ceramahmu itu?”

Bersamaan dengan itu meledaklah tangis isterinya, lalu berlari kecil menuju kamar. Braaakkk! Pintu terbanting kencang. Braakkk! Terbanting pula harapan da’i muda itu. Ia memandang hampa ke arah kamar yang telah tertutup rapat itu. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar,” terngiang ucapannya sendiri ketika berkhotbah di depan jamaah

***

Dua bulan kemudian.

Menunggu mikrolet lagi. Begitulah aktivitasnya setiap sore. Tapi sekarang belum sore. Da’i muda itu menyandarkan tubuhnya di tiang halte pemberhentian. Wajahnya tampak kusut dan letih. Peci yang biasa dikenakannya, tidak tampak. Kesedihannya tampak dari matanya yang memandang nyaris tidak peduli pada mikrolet yang kebetulan kosong dan berhenti persis di depannya. Ia baru saja mengurus proses talak isterinya di Pengadilan Agama.

Ia menelan ludah untuk menyingkirkan kepedihan hatinya. Pahit ludahnya. Namun apa yang harus dihadapinya lebih pahit lagi. Ia harus menerima kenyataan tentang kegagalannya. Kegagalan rumah tangganva Kegagalan da’wahnya. Hatinya nelongso. Namun ia masih tetap berharap, insya Allah isterinya ditunjukiNya hidayah dan akan berubah penilaian dan pendiriannya. Ia masih mencintai isterinya itu dan belum tertutup jalan untuk rujuk kembali.

“Pak Ustadz…!”

Sebuah suara mengejutkannya. Ia menoleh. Seorang laki-laki setengah baya datang menghampiri sambil melempar senyum.

“Assalamu alaikum…!”

“Wa’alaikum salam… Masih ingat saya, Pak Ustadz?” tanya laki-laki itu ramah

“Sebentar, sebentar,… saya ingat-ingat dulu…”

“Masak Pak Ustadz lupa sih.” kata laki-laki itu tanpa memberikan kesempatan padanya untuk berpikir lebih lama. “Saya jamaah masjid al-Ikhlas, itu lho, yang merekam ceramah Pak Ustadz beberapa waktu yang lalu, pasti Pak Ustadz ingat….”

“Oh ya, ya… ingat saya sekarang. Bagaimana kabarnya?”

“Alhamdulillah, baik-baik saja. Tadi saya lihat Pak Ustadz dari mikrolet maka saya turun di sini. Ini lho Pak Ustadz, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih…”

“Terima kasih? Soal apa…..?”

“Dulu ‘kan saya pemah minta izin Pak Ustadz untuk merekam ceramah Pak Ustadz tentang hijab dan jilbab di masjid al-Ikhlas. Kasetnya saya bawa pulang, lalu di rumah disetel oleh isteri saya. Tiba-tiba saja dua hari kemudian ia dan anak gadis saya menyatakan keinginannya untuk berjilbab. Saya sendiri sampai takjub, nyaris tak percaya. Lha, wong anak gadis saya itu semula tomboynya minta am pun, kok. Rupanya mereka mendapat hidayah dari Allah lewal ceramah Pak Ustadz itu…”

“Alhamdulillah…..!

Ada setetes kesejukan meresap di hati da’i muda itu. Subhanallah. Walau setetes. cukuplah baginya untuk melarutkan hamparan kepahitan dan kegagalan yang baru saja dialamiya. Ia pun berdo’a memohon hidayah untuk isterinya, seperti Dia telah memberikan hidayahNya kepada berjuta-juta ummat manusia. Ia ingin berkumpul kembali dengan isterinya dalam kesatuan jiwa, satu hati dan satu pandangan. Amin. (T.Prasojo)

TAMAT